PERADABAN YANG “DANGKAL”

Oleh: Rama Lajahi
(Pengurus Literasi Um Fapolo Desa Masure)

Perkawinan gelap dan bisikan ombak kipin menjadi kesaksian atas apa yang terjadi di bumi ini. Setelah berembuk pada keintiman diskusi dari isi buku dan teori panjang yang memicu hormon Dopamine membawaku terekstasi pada sebuah keadaan yang disebut ”Zaki Rausyan” sebagai Narkotika Alimih. Aku menemukan kegalauanku dibibir pantai

Bacaan Lainnya

Bahwa setenang-tenangnya samudra pasti terdapat monster ganas didalamnya (Nietzsche) begitulah kesombongan pikiranya,; Aku sepakat, jangankan bicara laut, manusia berjas hitam dengan khitah idealisme dihadapan publik saja dapat membunuh layaknya predator di hutan rimba.

Seganasnya monster di laut tenang tidak akan memangsa manusia diatas kapalnya sendiri, kita tidak menghitung berapa jumlah petani yang menempuh panjangnya laut, berapa jumlah nelayan yang kehilangan hak daulat tanah, akibat perampasan ruang hidup dan pencemaran lingkungan dari sejumlah Izin usaha pertambangan yang notabene sejak 2020 “IUP aktif telah beroperasi sebanyak 3,245; dengan izin usaha tambang Mineral logam sebagai pemegang tameng terbanyak, Yaitu 45% dari total persentase Izin terbesar

Sungguh bejat manusia berjas ini, ia akan melahap dan menjinakkan apapun demi kepentingan laba dan kekayaan keluarga hirarkinya; saya tahu bagaimanapun ganasnya monster dilautan ketika ditawarkan 1000 orang yang mengapung diatasnya, ia tetap tidak akan menghardik. Sebab ia tahu; kalau darah, bangkai, dan daging yang sudah mati, adalah profit bagi kebutuhanya yang halal untuk di makan

Tapi toh kenapa, manusia yang dianugerahi tiga (3) gelar pahlawan dalam dirinya, Hati rasio dan pikiran tidak lebih cerdas memilih setiap mangsa sebagai kebutuhan bagi perutnya. Padahal nyaman raga terletak pada sedikitnya makan, tenang hati terletak pada sedikitnya ambisi. Ungkap “Ali bin Abi Thalib” kegalauan ini, rupanya tdk bisa ditafsir sebagai rujukan nasehat yang biasa diulangi Rasulullah SAW; bahwa makananlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang.

Sungguh miris dan nyata kalau Manusia masih tetap pada rakusnya sebagai warga metropolis, Bagaimana tidak, burung dikandangi, monyet dikurung, harimau di kungkung, padahal El sangat giat berusaha untuk membebaskan setiap burung dan satwa-satwa liar yang dikandangi. Lewat sebuah perhelatan hadiah burung “jalak suren” yang diberikannya pada Sekar, lalu kemudian dilepaskanya bersamaan, sebagai hadiah semesta dan wujud kebebasan bagi hidupnya (Baca juga Sepasang yang Melawan)

Yang bagi “Jazuli Imam”, secantik apapun burung dan sekarang apapun harimau kalau ditempatkan dalam kandang, Ia tetaplah sebuah pajangan;, berada di alam bebas adalah perlindungan terhadap kehidupan manusia dimasa berlanjut. Tapi kini Alam dieksploitasi, laut dicemari, air udara apalagi. Dan pelakunya tentu bukan petani bukan nelayan atau kaum duafa.

Tapi mereka itu, yang berjas hitam dan berdasi dengan lisensi birokrat dan jebolan ilmuwan besar diberbagai universitas ternama dengan nilai/IPK yang diakui kampus. Selalu dirusak tanpa merasa merusak, selalu dibunuh tanpa merasa membunuh. Jadi ingat kata-kata El pada Sekar, saat Sekar menebang pohon sembarangan, dan mencuci pakaian di danau saudara anak bukit Rinjani, yang telah menewaskan ikan dan spesies lain didalamnya, akibat busa dari sabun yang dipakainya.

“Bakar seluruh IPK mu, dan lepaskan predikat HMJ ditubuhmu, mahasiswa seperti kalian adalah megapolitan yg diperbudak untuk tunduk pada fasilitas kota, tanpa tahu bagaimana cara melindungi Alam dan merawat mahluk hidup didalamnya”.

Muh Akbar dalam bukunya; “Tujuan sekolah untuk apa”? Jangan kalah sama monyet; berpesan;, mahasiswa harusnya memasuki perguruan tinggi untuk memenuhi tuntutan perjuangannya, sekaligus sebagai penegak kebenaran. (Ageng of change, Agen of Control)

Tapi apalah daya; perbuatan manusia berjas dan berdasi ini, semuanya akan diperkosa atas nama kecanggihan teknologi dan takhayul (Development) pembangunan yang bagi “Adam Smith” Manusia akan sampai pada satu kondisi stasioner, dimana sumber daya alam dikeruk menggunakan kecanggihanya teknologi yang signifikan, kelangkaan serta kekurangan sumber daya alam akan terus berkurang, kondisi ini kemudian membuat kehidupan tidak lagi seimbang.

Sebagai rujukan kerangka yang paling urgens adalah masalah alam dan lingkungan di-papua. Unjuk rasa usia Freeport dipundak Gunung Ertsberg dan Gasberg yang telah membuang rimbah tailing 160 ribu ton per hari, dialirkan ke sungai ajikwa dan agawagon. Freeport yg sudah berusia 54 tahun sejak traktat perjanjian Soeharto pada 1967 itu, masih menjadi bumerang bagi aktivis lingkungan dan kelestarian alam, ditambah masalah penyudutan ras bangsa Papua yang tak kunjung bersambung dibibir Netizen Indonesia dengan stigma negativ sebagai kelompok anarkis dan separatis

Seperti yang diungkap Natalius Pigai; dalam “black lives matter” dosa besar orang Indonesia adalah masalah rasisme dan tudingan separatis orang Papua. Berdasarkan data BNPT yang memotret beberapa kasus pembantaian antara (2010-2020) tercatat 204 kasus aksi teror dengan jumlah korban yang mencapai 1869 kasus, dan telah menewaskan 365 warga sipil tak berdosa

Kaum Miskin Dan Kesejahteraan

Bicara kemiskinan, kaum miskin kota dan gelandangan dimana-mana, kisis-kisi bagi DPRD dan PR besar Presiden yang tak kunjung reda ini, dimana terdapat 4.622 penyandang masalah kesejahteraan PMKS dalam pantauan Dinsos DKI Jakarta yang mencontreng status gelandangan sebagai yg paling banyak. Sebanyak 1.004 orang, belum pada akumulasi dikota lain seluruh Nusantara.
Sungguh peristiwa “Hablumminannnas yang amat memilukan, tak ubah bak raja-raja di singgasana gladiator Romawi yang menertawakan manusia idiot saling menebas, tanpa kesejahteraan, dan kompensasi hidup yang terkekang miris pada kekuasaan Borjuis bangsa. lalu buat apa lisensi kita sebagai mahluk tersempurna yang pernah diciptakan.

Saya membayangkan sebuah Film Monkey yang dirancang Amerika serikat pada tahun 2017 itu bisa terwujud, mereka monyet-monyet itu keluar dari kegelapan hutan, bebas dari jeratan kebun binatang (ZOO); lalu hidup bebas sebagai rifal spesies yang hidup berdampingan dengan manusia

Dengan catatan; kehidupan bumi dibagi menjadi dua bagian, sebelah untuk bangsa monyet sebelahnya lagi untuk manusia (Homo Sapiens) kesempatan itu diberikan Tuhan satu abad saja untuk mengukur presentase kesejahteraan dua spesies ini dengan menggunakan sebuah alat ukur (Termodinamika) Alat pengukur keadaan

Kenapa harus monyet, karena monyet pernah dipakai mahluk pertama yang menjelajahi luar angkasa, terbukti Ham dan Enos berhasil diluncurkan Uni Soviet pada 1983 ada juga nama lain seperti Albert II yang diterbangkan ke atmosfer 1960 atas kerja sama Russia dan Amerika serikat sebelum manusia benar-benar berani mendaulatkan dirinya mendarat kesana.

Secara gesture tubuh dan perawakan, monyet tampak sekilas seperti dengan apa yang dimiliki manusia, bedanya ekor saja yang tidak. “Muh Akbar” saat menyampaikan dialektis kuliah pada mahasiswanya “Ia bepesan, jika kalian kuliah hanya untuk mencari makan, maka monyet dihutan juga bisa makan tanpa harus kuliah.; Aku jadi ingat pada UUD 1945 pasal 31 ayat 3 tentang tujuan utama pendidikan universitas bukanlah mencetak setiap lulusanya semata mencari makan, meraih status sosial, menjadi orang profesional. “Bukan itu, sanggahnya. “Kriteria utama penerimaan dan lulusan sarjana kita adalah kriteria iman, taqwa dan akhlak mulkarimah”.

Kamu kuliah untuk jadi orang terkenal atau jadi orang baik dan pejuang kebenaran? Dr. Adian Husaini, Jangan kalah sama monyet. Maka apabila monyet diberi akal dan hidung berdampingan layaknya manusia tentu peradaban mereka akan jauh lebih baik, dibanding pengetahuan yang kita punya, hijau hutan, air bersih, udara segar. Satwa liar; herbivora dan karnivora hidup damai dalam kendali peradaban mereka. Sekalipun sewaktu-waktu mereka bisa dimangsa oleh predator lain, setidaknya monyet akan lebih bijak dalam melestarikan semesta.

Bisikan jangkrik dan penghayatan Nietzsche sudah redup, kali ini bisikan ombak semakin tenang. Setelah melotot kedua mataku ke laut yg perlahan mengering, aku mendengar suara parau kakek tua membutuhkan bantuan, Tolong bantu dorong perahunya di tepi pantai”; Dapat ikan kek dengan nafas terengah setelah berlarian, Alhamdulilah ada cakalang, tarosi cumi-cumi, dan kakap merah. Ungkap bahagia disela bibirnya yang mulai keriput.

Aku beli kakap dan cuminya satu, seharga 20 ribu; buset murah kali, makanya pergi melaut, supaya tahu cara mancingnya, sambil mengetok panta dayungnya dikepalaku. “Setelah usai bercanda dan kami pun bergegas pulang, dalam perjalanan. Aku bertanya; bagaimana kalau nanti ada perusahaan yang masuk disini? Bagus toh! ungkitnya, kita bisa dapat duit banyak seperti masyarakat lingkar tambang lain. Bisa beli mobil, motor, bikin kos-kosan bangun rumah bagus Iyo to?

Aku yang masih mabuk dalam narkotika Nietzsche tadi langsung frontal, cumi kakap, tarossi, cakalang dan teman-temannya akan hilang, kalau ada tambang kakek, Ah bagaimana bisa begitu? kaget dalam kalimatnya, begini aku menjelaskan; Limbah B3 itu berbahya kek, bisa kasih rusak laut di desa ini, karang-karang bisa hancur, air bisa kabur, berubah warna seperti air disungai-sungai.

Oooh jadi limbah B3 itu sama seperti mendesis udang begitu, cocok semangatku, karna dia mampu memahami dalam miniatur yang sederhana, itu sudah!!!
Kek, sekalipun kita dapat untuk banyak dari tambang, tapi kita akan hidup dengan terkadang pakai masker karena abu pertambangan, belum lagi racun cerobong asap, PM2. Mercuri CO2, SO2, NO2 itu sudah kasih mati orang sebanyak 6.500 dari berita yg sya cover di Tribun bali.com; satu lagi kek, kita akan minum air gelong setiap hari

Ooh karena itu tadi air sudah kabur. Sanggahnya lagi-lagi memahami maksudku, jadi tolak tambang atau terima tambang tete? Tolak! Sembari melayangkan tangannya dipundakku. Heningku Alhamdulilah ” Ternyata masih ada warga semesta seperti tete Jahim yang peduli terhadap kelangsungan hidup.

Begitulah candu narkotika alamiah membawaku sangat jauh dari sekedar teori sampai realitas. Karena bagiku, peradaban manusia sepanjang zaman yang dipenuhi ketinggian dan kecanggihan iqra, dalam hal-hal yang menyangkut kebijaksanaan hidup dan kesejahteraan manusia akan digiring pada kerakusan dan pengrusakan hidup, pengrusakan lingkungan dan pertumpahan darah. Karena satuan-satuan kerajaan maupun negara dibangun, pada akhirnya akan berujung pada perampokan kekayaan alam dan penguasaan terhadap manusia.(**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *