Catatan Demokrasi di Morotai : Ada Tikungan, Jebakan dan Bayangan Politik

Oleh Arafik A Rahman Penulis Buku
Oleh Arafik A Rahman Penulis Buku

Ada banyak catatan dan rekaman politik yang telah kita lewati bersama terhadap dinamika demokrasi di kabupaten Pulau Morotai. Bahwa rentetan peristiwa politik yang dipandang normal dan abnormal tentu disebut sebagai sebuah fenomena politik. Fenomena itu, saya menyebutnya sebagai tikungan, jebakan dan bayangan politik.

Sedari awal, hendaknya setiap partai politik mesti memberikan penguatan literasi kepada semua Caleg tentang apa itu demokrasi, apa itu parlemen dan apa pentingnya menjaga DPRD. Sehingga menjadi pedang dan perisai dalam menghadapi tantangan, rintangan dan halangan pada pertempuran legislatif tahun 2024 yang telah dimulai dan masih berlangsung hingga kini.

Sebab orang yang minim literatur terhadap demokrasi tentu mengunakan janji-janji palsu dan politik transaksional sebagai materi dalam berkampanye. Menyebabkan rakyat menjadi apatis, dibenak mereka hanya ada dua pilihan; pertama jika terpilih pasti janjinya tak terealisasi lagi, kedua ahhh kita ambil uangnya tapi jangan memilih.

Bacaan Lainnya

Jadi apa yang telah terjadi, itu semacam pertempuran Spartan yang terjadi di tengah Colosseum beberapa abad yang lalu. Mereka bertempur dengan sprite elit bukan dari kemauan dan kesiapan individu. Membabi-buta, saling menebas tanpa ada sopan santun. Ilustrasi tersebut adalah gambaran bahwa politik kita akhir-akhir ini, hanya berbasis pada kemampuan finansial (politik uang) dan paksaan semata (penekanan elit).

Uang memang jitu untuk mempengaruhi pilihan orang tetapi ingat reputasi dan kecakapan berkomunikasi adalah penentu kemenangan sebetulnya. Jika uang yang diandalkan, maka pasti ketika dia gagal dalam percaturan politik, dia akan pasti marah-marah karena ada kerugian yang dialaminya.

Ada uang yang penting dalam politik, disebut dengan “cost politik” atau dana operasional parpol atau kandidat. Bahwa “uang politik itu niscaya, namun politik uang itu nista”. Begitu kata Profesor Antropolinguistik Universitas Khairun Ternate, Gufran A Ibrahim dalam artikelnya yang bertajuk “Uang Politik dan Politik Uang”.

Oleh karenanya, jika seorang calon legislatif tak mampu mempersiapkan dirinya; baik itu Ide, Narasi dan cost politik pada kompetisi legislatif, maka pasti dia akan terjatuh di tikungan sebelum tiba pada titik finish sebagai pemenang. Kesemua itu saya menyebutnya sebagai “Tikungan Politik”.

Berdasarkan data pleno PPK dari enam kecamatan di kabupaten Pulau Morotai, tanggal 02, Maret 2024, menunjukkan bahwa dari total jumlah 20 kursi di DPRD, banyak kandidat yang berpengalaman “9 Incamben” dan 5 pimpinan partai politik tumbang atau terjatuh di tikungan tajam Pileg 2024. Karena akumulasi prosentase suara mereka tak memenuhi syarat mendapatkan Sit atau bahkan ada set tetapi mereka tereliminasi dari kompetitor di internal partainya.

Terlepas dari itu, kita banyak terjebak dari konsep politik yang mengatakan bahwa politik itu kotor, politik itu jahat dan sebagainya. Padahal politik sejatinya adalah ilmu yang mengatur tentang upaya memandatkan kedaulatan warga negara, hak asasi manusia dan konsensus hukum dalam tatanan negara yang demokratis. Seperti yang disampaikan George Jellinek seorang pencetus ilmu Tata Negara asal Jerman.

Selain itu, faktor kebutuhan ekonomi yang mendesak dan rendahnya strata pendidikan juga merupakan penyebab utama yang menjebak sebagian pemilih menukar kedaulatannya dengan nominal dan barang komersil lainnya. Tentu ini bukan sebuah kesalahan yang disengaja tetapi saya menyebutnya dengan jebakan politik dalam demokrasi.

Upaya yang mesti dilakukan oleh negara adalah menciptakan budaya demokrasi yang jurdil melalui partai politik, lembaga pendidikan dan regulasi perpolitikan di bangsa Indonesia. Sebab sebuah budaya hanya akan tercipta melalui kebiasaan perilaku, yang itu bisa saja datang dari sebuah regulasi, edukasi dan misi kepartaian itu sendiri.

Ada sebuah cerita di Jepang, ‘seorang warga Indonesia melakukan destinasi ke Jepang. Suatu ketika dia sedang menikmati sekaleng Coca-Cola, sesaat setelah selesai minum. Dia membuang kaleng itu di area taman di kota Tokyo, tetiba ada warga Jepang yang melintas di depannya. Orang jepang itu lalu melihat kaleng bekas yang dibuang oleh orang Indonesia tadi.

Lalu si jepang itu mengambil kaleng bekas itu dan meletakkannya di tempat sampah, sembari mendatangi orang Indonesia lalu ia memberikan senyuman penghormatan. Seketika orang Indonesia itu terkaget kagum dan tersipu malu, karena tak ada sepatah kata sebagai ekspresi kemarahan atau teguran dari orang jepang itu.

Keesokan harinya di tempat yang sama dengan meminum minuman yang sama, orang Indonesia itu pun mengalami perubahan perilaku. Setelah dia menghabiskan minumannya dia tak lagi membuang sebarang kaleng itu, tetapi dia langsung pergi meletakkan di tempat sampah”. Apa pesan dari cerita ini?

Adalah tentang budaya positif yang mampu memposisikan manusia sebagai subjek utama untuk menjaga konsistensinya tanpa ada paksaan orang lain atau aturan apapun. Oleh karena itu, mewujudkan politik yang jurdil menurut saya hanya dengan cara memujudkan budaya kesadaran kita terhadap pentingnya politik dalam membangun bangsa Indonesia. Bahwa politik itu bersih, baik dan penting dalam memandatkan kedaulatan kita sebagai warga negara yang demokratis. Jika ia kotor maka pelakunya adalah oknum atau elite politik itu sendiri.

Pemilihan legislatif di Pulau Morotai beberapa waktu lalu, ada semacam pantulan bayangan traumatik tentang kinerja dan perilaku politis yang terjadi sebelumnya. Bayangan itu, menjelma seperti seorang malaikat yang membisik ditelinga para pemilih. Malaikat itu berkata “awas jangan lagi memilih mereka yang telah vakum atau tak memberikan kinerja yang baik pada periode sebelumnya.

Akibatnya banyak Incamben dan pimpinan partai politik yang gugur di pentas politik (Pileg) 2024. Padahal ada sebagian dari mereka yang sempat memperjuangkan aspirasi rakyat, namun dihalangi faktor X. Entah itu disebabkan dari ambruknya soliditas parlemen, lemahnya bajet DPRD, ataukah missing komunikasi antara eksekutif dan legislatif. Keterpurukan peran parlemen itu, tentu telah memberi pesan negatif yang permanen di benak masyarakat Pulau Morotai.

Sebagian dari mereka mengalami kekalahan, itu bukan karena tidak punya cost politik tetapi hilangnya trush publik. Sehingga rakyat menikmati setiap pemberian sadakah dari caleg tetapi berselingkuh dengan pendatang baru kala itu. Karena pemula dianggap masih virgin oleh masyarakat, seperti 5 kali mengalami kekecewaan dalam cinta sehingga ada pasangan yang tak mau lagi kembali bersama. Lima kali kecewa adalah gambaran 5 tahun APBD yang selalu melahirkan kontroversi di tengah-tengah publik.

Begitu kira-kira apa yang saya maksudkan dengan bayangan politik di kabupaten Pulau Morotai.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *