Ingat, “kekuasaan yang Tirani itu diperoleh dari Uang dan peperangan atau penaklukan wilayah di masa lalu”. Misalnya Hippias adalah penguasa tiran yang membuat kata tirani mendapatkan konotasi negatif di Athena era Yunani Kuno.
Tiran sering kali memecah belah kelompok bangsawan yang baik, dan membangun persahabatan dengan masyarakat yang dianggap miskin pengetahuan dan gagasan. Mereka sering menggunakan prajurit sewaan untuk mensukseskan keinginannya.
Dalam perjalanan sekitar abad ke 14 di inggris revolusi perlawanan terhadap raja dimulai, demokrasi ditawarkan dengan semboyan Vox Populi Vox dei oleh Uskup Agung Walter Reynolds sebagai dukungan terhadap gerakan rakyat yang menjatuhkan Edward II. Vox Populi Vox dei adalah bentuk kontradiktif terhadap “Vox Rei, Vox Dei” Suara Raja adalah Suara Tuhan.
Jatuh Bagun perlawanan terus terjadi, meskipun Monarki kembali mempertahankan kekuasaannya tetapi inggris terpecah belah menjadi beberapa bagian negara yang demokratis. Termasuk Amerika Serikat adalah simbol kejayaan demokrasi modern dengan proyek spektakuler patung “Liberty” sebagai simbol kebebasan dari sebuah tirani.
Begitu juga yang terjadi di Prancis abad 18, oleh Napoleon Bonaparte yang menjatuhkan hukum pemakzulan raja Louis dan ratunya Marie Antoinette dihadapan publik. Menara Eiffel dibangun sebagai simbol kebebasan Prancis. Di Italia abad ke 15 di kota Florence sebuah tirani yang dipimpin oleh seorang pangeran Lorenzo. Ditulis oleh Nicola Machiavelli “II Prince” kebengisan sang penguasa.
Sekali lagi, “Vox Populi Vox Dei” Suara rakyat adalah suara tuhan, merupakan interupsi publik kepada raja atas kepemimpinan yang penuh Tirani; pemimpin yang sewenang-wenang, menindas, menghukum dan membunuh rakyat tanpa alasan yang logis.
Dari sejarah yang panjang itu, kita mesti menyadari betapa penting dan heroic demokrasi diperjuangkan. Demokrasi adalah sebuah sistem negara yang dianggap paling sempurna dan istimewa dari sistem Monarki, Despotisme, Aristokrasi dan Plutokrasi. Sebab demokrasi melibatkan rakyat untuk menentukan pemimpinnya, ia membuka ruang bagi siapa saja. Teristimewa bagi rakyat miskin (ploletar) petani, nelayan, buruh untuk bisa menjadi pemimpin.
Demokrasi menolak monarki (sistem Raja), demokrasi menghalangi orang kaya atau pemodal berkuasa (Plutokrasi), demokrasi menghalangi bangsawan yang nepotisme (dengan segala cara mempergunakan peralatan kekuasaan untuk terus berkuasa) yang biasa kita disebut Fiodalisme, dan cawe-cawe dalam bahasa Jawa.
Kalau sistem Tirani biasanya tumbuh karena Uang dan nepotisme, kenapa kita masih saja mau menjual suara kita? Kalau nepotisme dan kesewenang-wenangan tumbuh karena intimidasi, tawaran jabatan dan konspirasi elite, kenapa kita mau patuh kepada mereka? Padahal Demokrasi sejatinya tumbuh dari kesadaran akan pentingnya kedaulatan rakyat. Yaitu memilih dengan rasional dan nurani untuk melahirkan pemimpin yang ideal dan amanah.
Kini, sudah tiba saatnya kita mesti mempertahankan originalitas demokrasi. Menolak politik uang, politik tawar-menawar jabatan dan politik asal senang sendiri. Memang banyak rakyat yang belum tercerahkan untuk melindungi hak pilihan mereka. Tetapi paling tidak kita sebagai kaum intelektual dan elite yang memahami substansi demokrasi, memberi contoh atau semacam pencerahan kepada mereka.
Tak ada cara lain untuk mewujudkan tatanan kehidupan dan pemerintahan yang demokratis, selain menolak yang namanya politik uang dan kepentingan pribadi atau kelompok. Karena demokrasi sejatinya adalah upaya memaksimalkan kedaulatan rakyat. Kemudian menegakkan keadilan dan mendistribusikan kesejahteraan rakyat. Seperti kata Abraham Lincoln “form the people, by the people, for the people”.
Kata Hans Kelsen, dalam Demokrasi mayoritas menghargai hak minoritas dan minoritas menghormati mayoritas. Bahwa pasti pemimpin lahir dari mayoritas yang memilih tetapi tidak mengabaikan hak minoritas sebagai warga negara. Kelsen menekankan bahwa demokrasi menolak sentimen terhadap mereka yang kalah, dan yang kalah mengucapkan selamat atas kemenangan mayoritas sebagai bentuk warga negara yang demokratis.
Jadi, sebagai warga negara yang demokratis, pemilihan kepala daerah khususnya di provinsi Maluku Utara. Mari kita junjung perbedaan sebagai sarana menghidupkan demokrasi tetapi identitas kebudayaan yang mayoritas juga berhak memenangkan sebuah percaturan politik. Karena memang mereka mayoritas etnis yang menjadi kekuatan elektoral dalam sebuah demokrasi.
Yang terpenting adalah saling menghargai dan menghormati antara sesama. Sebab elektabilitas di dapat karena dikenal secara biografi dan biologis. Siapa yang mencalonkan diri sebagai delegasi kultural itu adalah bonus demokrasi, dan siapa yang datang dari ras minoritas adalah minus elektoral, asalkan ide dan gagasannya mampu membuktikan bahwa dia layak dan pantas dipilih. Begitu cara demokrasi bekerja, bukan meniadakan kultur, agama, etnis, ras dan sebaginya. Kesemua itu adalah identitas demokrasi itu sendiri.
Untuk itu, di H minus satu ini, kita jemput pemimpin baru Maluku Utara yang benar-benar terlahir dari “Vox Populi Vox dei; suara rakyat adalah suara tuhan”. Pilihlah dengan pikiran dan nurani anda jangan dengan amplop dan paket sembako. Karena pemimpin yang lahir dari amplop akan melupakan kita selama dia memimpin.
Pemimpin yang membayar kita, dipikirannya kita adalah barang bukan warga negara yang demokratis. Besok kita akan diabaikan, karena dia fokus mengembalikan modal politik yang hari ini terpakai. Dia fokus membayar uang pinjaman yang hari ini dia pinjam.
Ingat pilihan kita menentukan kualitas demokrasi kita, kualitas pemerintahan kita dan kualitas masa depan anak cucu kita. “Orang cerdas, pilihannya bukan karena uang, sementara orang bodoh pilihannya asal ada uang”
***