Oleh: Sadam Amir (Team Leader Program Gerakan Kampung Kreasi Fakati Mandiri)
Tuntutan pemekaran akhir – akhir ini boleh dibilang menjadi sebuah issue yang laris manis. Dimana semua mata dan telinga di negeri ini diarahkan fokus pada issue ini, tak ketinggalan fokus yang sama yang menuntut pemekaran juga bertubi-tubi datang dari desa, dan targetnya adalah pemekaran desa.
Bagi desa adalah target yang dimimpikan dengan penuh harap agar segera menjadi kenyataan. Namun mimpi segera memiliki desa definitif tersebut terpaksa harus menunggu tanpa kepastian karena masih terhalang tembok pembatas bernama moratorium.
Pemerintah sampai sejauh ini belum mencabut moratorium pemekaran yang telah diterbitkan pemerintah melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 100.1-1/8000/SJ Tentang Moratorium Pemberian dan Pemutakhiran Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintah Kecamatan, Kelurahan dan Desa.
Secara prinsip tuntutan pemekaran desa dibenarkan UU no 6/2014 tentang Desa. Karenanya hal ini menjadi mendesak untuk mendapatkan atensi secara serius dari pemerintah (pusat) dan terutama pemerintah daerah.
Perhatian terhadap kepentingan desa sangat cukup berasalan. Sebab desa merupakan basis mayoritas penduduk Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Indonesia memiliki 75.753 desa. Dan karena itu pulalah desa pantas ditempatkan pemerintah menjadi penyangga utama negara dalam pembangunan nasional.
Urgensi Pemekaran Desa
Pemekaran desa yang telah diajukan rata-rata dikemas menggunakan dalil menjemput kesempatan guna mengejar ketertinggalan pembangunan yaitu untuk mempercepat pembangunan serta untuk mendapatkan akses pelayanan publik yang lebih baik.
Sebuah alasan yang memang cukup masuk akal bahkan telah sejalan dengan janji negara pada rakyat bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan isi amanat konstitusi yang tertuang pada alinea ke – 4 Pembukaan UUD 1945.
Penegasan diatas setidaknya dipertahankan menjadi tolak ukur atau benchmark memperkokoh komitmen masyarakat bahwa pemekaran desa yang diajukan didesain atas dasar by need yakni murni kebutuhan bukan sesuatu yang disengaja untuk memenuhi sahwat politik.
Pemekaran harus dilihat urgensinya adalah demi kepentingan besarkan Kampong. Idealnya semestinya seperti itu, bukan untuk memperbanyak isi kantong dimana manfaatnya cuma untuk menciptakan peluang segelintir orang yang cari uang demi memperkaya diri pribadi dan kelompok.
Issue pemekaran desa juga tak kalah hangat dibahas di Halmahera Selatan. Bahkan sudah ada 33 calon desa definitif diajukan kepada pemerintah kabupaten untuk ditindaklanjuti. Jumlah ini terbilang kecil tetapi jika ini ditambahkan dengan desa yang sudah existing saat ini maka Halmahera Selatan memiliki 282 desa. Sudah tentu beban bagi pemerintah Halmahera Selatan akan jauh lebih besar dan berat terutama beban bagaimana memastikan bahwa desa – desa yang baru dimekarkan tersebut tidak terpapar virus korupsi.
Pada konteks ini perlu menjadi konsen pemerintah daerah dan DPRD agar dalam melakukan penilaian terhadap desa – desa yang diajukan dapat bekerja lebih profesional dan harus dijauhkan dari pertimbangan bersifat politis.
Semoga saja janji pemekaran desa segera mewujud menjadi kenyataan.