Deficiency of the friendly society, kita sedang berada dalam situasi sosial yang kurang bersahabat. Saya tak menggunakan pledoi untuk mengurai fenomena kriminalitas yang menjamur akhir-akhir ini di kabupaten Pulau Morotai.
Deretan peristiwa tragis yang terjadi setahun terakhir diantaranya: kasus bunuh diri seorang gadis di pelabuhan Imam Lastori, bunuh diri seorang lelaki di Morotai Utara, bunuh diri seorang anak muda di desa Daeo Morotai Selatan, kasus KDRT dengan benda tajam.
Yang lebih memukul publik yaitu rentetan kasus yang berhimpitan; diperkosa sekaligus dibunuh seorang nenek di kebun sekitar RSUD beberapa waktu lalu, suami terbunuh lalu istrinya diperkosa di kebun area desa Falila, kematian pemuda yang diduga dianiaya (Tribunnews, com 19 mei 2024) dan hari ini tanggal 20 Mei 2024 ditemukan seorang ayah berumur 54 tahun yang tergeletak tak bernyawa di kebunnya di desa Joubela Morotai Selatan. Entah apa penyebabnya masih bersifat misterius.
Jika ini tidak ditangani secara serius, maka takutnya akan menjadi sebuah ancaman laten, the hidden dynamite: ledakan besar yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi dan jika kriminal dianggap biasa, ini bahaya “Si Ipi bisa saja membunuh Ulen atau si Fander membunuh Brikel”. Kan tidak boleh begitu..! karena mereka adalah manusia atau mahluk yang berpikir. Kata Aristoteles “Animal rasional”.
Mengapa membunuh itu salah? Ya saya konsisten bahwa tidak ada kata ‘Benar’ secara filosofis jika tindakan itu terjadi hanya karena urusan sentimental dan birahi seksualitas semata. Sebab, dalam etika dan moral “pembunuhan selalu salah” dia tidak mendapat porsi untuk dibenarkan. Meskipun benar dan salah adalah urusan etika dan moralitas itu sendiri.
Di pikiran Emmanuel Kant, pembunuhan itu tindakan yang bertentangan dengan prinsip dan kehendak universal. Jika dibenarkan.!Bagaimana kalau semua orang melakukan pembunuhan? Dunia tak akan pernah tentram dan manusia tak akan menemukannya kebahagiaan dan kedamaian absolut.
Sementara menurut Friedrich Nietzsche, bahwa membunuh adalah tindakan yang benar jika itu bermanfaat bagi anda atau masyarakat (negara’). Sebab keutamaan Moralitas yaitu menghargai konsekuensinya. Nietzsche memang seorang filsuf asal Jerman yang seringkali kontradiktif tentang Etika, moralitas dan politik.
Begitu juga dengan pikiran para sufi, pembunuhan adalah tindakan yang tergolong 10 dosa besar. Hukuman bagi pelaku yang dengan sengaja menghilangkan nyawa “orang lain”, ia timpakan dengan dosa besar yaitu kekal di neraka Jahanam. Termaktub dalam Alquran, “Dan (ingatlah) ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan yang selama ini kamu sembunyikan” (QS Al-Baqarah ayat 72).
Selaras dengan Hadist Rasullullah Saw, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa terbunuh dengan tidak diketahui pembunuhnya, atau terkena lemparan batu, atau kena cambuk, atau kena tongkat, maka dendanya ialah denda bunuh karena kekeliruan. Barangsiapa dibunuh dengan sengaja, maka dendanya hukum mati, Barangsiapa menghindar dari berlakunya hukuman itu, maka laknat Allah padanya.” Riwayat Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sangat kuat.
Tetapi kita tak bisa nafik kan juga bahwa selain penjelasan secara filosofi dan religi. Kriminalitas juga disebabkan oleh adanya kesenjangan Sosial dan Ekonomi, penyalahgunaan Narkoba, maraknya minuman keras, lingkungan yang inkondusif, persoalan internal keluarga, psikologis dan faktor eksternal lainnya.
Hipotesis saya, ada 2 faktor yang paling fundamental memicu terjadinya kriminal di Pulau Morotai. Pertama adalah soal isi Dapur dan yang kedua hilangnya empati terhadap orang lain. Isi dapur yang saya maksud adalah kebutuhan primer yang tak terpenuhi. Meminjam kata Abraham Maslow, jika kebutuhan primer tidak terpenuhi maka naluri manusia berpotensi lebih buruk daripada hewan “under animal”.
Hewan saja kalau lapar ia akan menjadi sangat ganas, Mamalia bisa menjadi predator apalagi yang dasarnya predator? Begitu pun manusia jika dia sangat lapar tentu sifatnya berpotensi lebih buas dari binatang (dia bisa melakukan apa saja termasuk membunuh jika perlu).
Yang kedua hilangnya empati: tak ada rasa kemanusiaan terjadi orang lain, selalu sentimen melihat prestasi orang lain atau gemar menjatuhkan orang lain bahkan nekat melukai “bertindak kriminal”. Saya teringat gagasannya Adam Smith dalam bukunya yang berjudul “The Teory of Moral Sentimens” yang diterbitkannya tahun 1759.
Smith berbicara tentang masyarakat modern sebagai suatu kelompok yang bersahabat. Namanya “the friendly of society” bahwa setiap manusia memiliki kebebasan dan perasaan simpati satu sama lain untuk membentuk suatu masyarakat harmoni. Katanya kebebasan dan simpati merupakan dasar terpenting dalam dan dari masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Dalam pemikiran Smith, simpati merupakan sebuah prinsip hakiki yang melekat pada kodrat manusia. Alam telah melengkapi manusia dengan prinsip yang membuatnya harus menaruh perhatian pada kemakmuran orang lain dan merasakan bahwa kebahagian orang lain perlu diusahakan. Bahwa sebagai makhluk organis, ketertarikan manusia pada orang lain dalam kehidupan bersama ditentukan oleh peranan kita untuk membahagiakan orang lain. Namun, Smith juga melihat bahwa simpati itu bukan sekadar perasaan belaka melainkan suatu prinsip rasional yang bersifat universal.
Jika kita membaca setiap pintasan pemberitaan di media massa, kasus demi kasus di Pulau Morotai, itu tak ada jejak kronologis yang kongkrit. Sampai kasus itu pergi ke meja hijau, publik hanya disuguhkan deretan tema kriminal semata. Yang pada akhirnya hanya membentuk situasi yang mencekam “ancaman baru” di pikiran publik.
Meskipun begitu, kita tentu menaruh hormat kepada pihak kepolisian atas atensi dan upaya-upaya penegakan Kamtibmas di Pulau Morotai sejauh ini. Terima kasih atas konsistensi anda dengan segala keterbatasan di wilayah perbatasan. Itulah alasan hadir sebuah negara.
Meminjam kata DR. Amran Saudi bahwa hukum itu dibuat untuk menjalankan aktivitas manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana bisa jika kriminalisasi tumbuh subur dihadapan kita lalu kita anggap sebagai sesuatu yang biasa saja, sebab
manusia adalah mahluk yang rasional, kata Aristoteles “Animal rasional”.
Sebetulnya manusia itu dilahirkan bersama dengan hukum, “ibi societs ibi ius” dimana ada masyarakat (manusia) disitu ada hukum.
Tentu untuk menegakan supremasi hukum tak sekadar menjaga tanggung jawab instansi tertera, tetapi ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai manusia. Kita perlu ide baru untuk mempercepat daya gerak kita agar datang lebih awal sebelum kriminal itu datang ‘lebih baik mencegah daripada mengobati.
Kita perlu seorang pawang untuk mencegah terjadinya hujan deras dalam sebuah turnamen sepakbola jika itu menguntungkan strategi yang diracik sebuah tim, bukan seperti kata pepatah “siapkan payung sebelum hujan” jika begitu maka penjara akan full. Begitu kira-kira anekdot yang bisa saya sampaikan.
Pesan saya kita tidak bisa memandang remeh soal kriminalitas. Jangan sekadar menjadikan objek pemberitaan oleh media dan atau postingan netizen yang meramaikan media sosial: di Facebook, tiktok, Twitter, Instagram dan lainnya. Sebab Kriminal adalah musuh besar daripada hukum dan keadilan itu sendiri. (*)