Kado Untuk GMNI

Ketua DPK GMNI Teknik UMMU, Harmawi Ade. (Istimewa).
“Marhaenisme sebagai gaung pergerakan tidak mesti timbul tenggelam. Ada isu baru keluar kandang. GMNI harus netral tidak harus mengekor pada doktrin alumni yang telah terikat oleh sistem. GMNI harus ikut serta mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap kepentingan masyarakat. Bukan karena arahan dari atas, melainkan sebuah kesadaran intelektual dan moral yang menggerakkan”.

Oleh: Harmawi Ade

(Ketua DPK GMNI Teknik UMMU)

Sejarah perjuangan bangsa yang kita baca, yang kita ingat dan yang kita dengar bukan hanya seonggok cerita-cerita penenang menuju tidur. Sejarah perjuangan bangsa adalah kitab yang berisi formulasi arah bangsa menuju kemerdekaan. Lalu, kemerdekaan itu menjadi rekomendasi atas kebebasan dan persamaan hak. Manusia berhak merdeka atas tanah dan air yang ditempati sejak kelahirannya. Dari fase kepemimpinan Orde Lama sampai Reformasi hari ini tidak ada satupun rumusan kebijakan yang tidak menuai konflik. Bahkan di era Reformasi kali ini semakin membludak saja konflik-konflik antar masyarakat dan korporat, antara masyarakat dan pemerintah daerah, dan antar masyarakat dengan masyarakat. Persoalan-persoalan ideologi, politik, kebudayaan, pendidikan dan ekologi terdobrak ke arah invasi ekonomi.

Bacaan Lainnya

Cita-cita menuju jembatan emas kemerdekaan yang merupakan bagian dari sejarah perjuangan itu belumlah 100%, sebab karena pemerataan keadilan belum benar-benar menyentuh hajat hidup masyarakat di pedesaan. Produk kebijakan yang dirumuskan selalu di intervensi tangan-tangan dari luar yang memiliki kepentingan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada orientasi pergerakan kebijakannya, baik di tingkat pusat hingga di Tingkat kedaerahan selalu saja menyeleweng dari haluan keadilan yang termaktub dalam rumusan pancasila.

Barangkali negara hari ini tidak lagi memfokuskan konsep pembangunnya pada masyarakat melainkan lebih tertuju pada pengelolaan Sumber Daya Alam yang ada. Maka wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam akan dijadikan sebagai daerah pertambangan tanpa mempertimbangkan laju deforestasi hutan di wilayah tersebut. Untuk itu kita dipaksa merelakan tanah yang kita punya, sebagai pertahanan terakhir dalam kehidupan kita harus digarap investasi pertambangan. Dengan dalil untuk menutupi kekurangan dan mencukupi biaya hidup yang semakin meningkat. Keadilan menjadi produk yang di perjualbelikan, dan untuk mendapatkannya kita harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal.

Spirit “berkarakter dalam kebudayaan” Justru dikoptasi dan diubah sehingga dampaknya adalah melahirkan kebudayaan baru, yakni budaya korupsi oleh pejabat-pejabat di tanah air. Bahkan konsep “mandiri dalam bidang ekonomi” Hanyalah jubah kamuflase yang menutupi kepentingan-kepentingan oligarki. Konsep itu, yang mulanya dirumuskan untuk kesejahteraan masyarakat setanah air, justru di setir ke arah pencaplokan sumber daya alam secara membabi buta untuk kepentingan kantong corporat multinasional.

Pun demikian dengan Gagasan “berdikari dalam politik”, sistem dan haluannya tidak pernah menunjukan wujud Demokrasi sejati. Politik diubah menjadi lahan menanam Investasi dan saham, sehingga tak jarang masyarakat hari ini pesimis dengan politik. Mereka mengganggap politik adalah tempat di mana uang di pergunakan untuk membayar suara. Budaya “Money Politik” Menjadi virus yang merombak seluruh tatanan keaslian demokrasi. Bagaimana tidak?, Orang merebut kekuasaan dengan ambisi kebinatangan “naik dan menginjak kepala yang lainnya”.

Berangkat dari kondisi itu, saya kira tepat sekali dengan tema Dies Natalis ke – 69 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia yang di usung, yakni “Satu Kesatuan Dialektis Menghadapi Gempuran Zaman”. Dalam kacamata yang sederhana, bahwa pikiran dan pergerakan harus segera di satukan. Bukan dalam tafsir pendapat, melainkan sebuah visi dan niatan yang sama. Sebagai upaya mengembalikan api perjuangan bangsa yang telah redup, untuk menyelesaikan berbagai problem yang telah Menggurita di tanah air.

Marhaenisme sebagai gaung pergerakan tidak mesti timbul tenggelam. Ada isu baru keluar kandang. GMNI harus netral tidak harus mengekor pada doktrin alumni yang telah terikat oleh sistem. GMNI harus ikut serta mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap kepentingan masyarakat. Bukan karena arahan dari atas, melainkan sebuah kesadaran intelektual dan moral yang menggerakkan.

Satu kesatuan dialektis merupakan proses pertengkaran gagasan. Proses itu seharusnya menjadi tradisi merawat dan menghidupkan pikiran-pikiran bangsa. Solidaritas butuh sentuhan pikiran, fisik dan kemauan secara sadar untuk berjuang. Karena itu, berpikir menjadi pijakan awal untuk berjuang dan sebagai realisasi dari Konsep-konsep yang di pikirkan maka berjuang menjadi tempat perwujudannya. “Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang”.(**).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *