Invasi Wacana Pemilu Sebagai Biang Kerok, Kehancuran Demokrasi

Foto: Yusril Buang
“Demokrasi tidak sebatas pencoblosan, tidak pula sebagai arena merebut kekuasaan, mengalahkan lawan politik dan panggung adu strategi dan taktik”.

Oleh: Yusril Buang

(Mahasiswa Ilmu Hukum UMMU Ternate)

Diskursus pemilu akhir-akhir ini melaju menjadi bahasan publik yang hampir mendominasi panggung diskusi dari berbagai macam kalangan baik mahasiswa, akademisi, politisi, birokrasi, masyarakat dsb. Pemilu merupakan bagian terkecil saja dari demokrasi. Dalam istilah ketatanegaraan, Pemilu diistilahkan dengan “Demokrasi Prosedural” hal ini dilakukan untuk mewujudkan yang namanya demokrasi substantif (Kesejahteraan Rakyat). Namun dalam hal perayaan pesta demokrasi, Pemilu/demokrasi presedural terus mengambil posisi paling atas dan di branding seakan menjadi puncak dari demokrasi.

Bacaan Lainnya

Wacana pemilu seakan menjadi tema baru yang merangsang pikiran sehingga diminati banyak kalangan. Dominasi wacana tersebut bermula dari kerja penyelenggara yang secara terbuka mengapload aktivitas kepemiluan sehingga memicu kelompok-kelompok tersebut termasuk para politisi untuk naik gunung berlaga diatas lapangan demokrasi walaupun rentang waktu pemilu itu masih begitu jauh.

Secara regulasi, para penyelenggara baik KPU maupun BAWASLU memang sudah waktunya untuk menjalankan aktivitas pemilu, namun hal yang muncul di luar dugaan adalah aktivitas itu telah memicu banyak kalangan terkhusus para Kandidat Incumbent untuk menjalankan agenda politik dalam rangka menjemput pemilu 2024. Secara empiric, banyak diantara politisi yang mendeklarasikan diri menjadi kandidat politik 2024 yang rata-rata adalah mereka yang masih menjabat sebagai anggota dewan aktif baik di daerah maupun pusat. Sebagai contoh anggota dewan aktif di kabupaten kalau bukan menjadi Incumbent di daerah, pasti naik satu level ke atas yang kita sebut provinsi, begitupun anggota dewan provinsi dan seterusnya.
Pada posisi ini, bagi penulis terjadinya kontradiksi aktivitas secara internal, satu sisi menjalankan kewajiban sebagai anggota dewan aktif, tapi disisi lain mencuri waktu untuk menjalankan konsolidasi politik. Berangkat dari satu adagium logika bahwa “Seseorang tidak bisa melakukan dua aktivitas dalam satu waktu.” Maka kesimpulanya adalah diantara dua aktivitas tersebut ada yang dikorbankan dalam artian tidak di kerjakan.

Pertanyaannya adalah apakah para anggota dewan aktif yang saat ini menjadi kandidat menjalankan kewajibanya sebagai anggota dewan aktif ataukah justru mengambil jalan pintas mengabaikan kewajibanya dan memilih melancarkan aktivitas politik dalam rangka menjemput momentum pemilu 2024 mendatang? Naudzubillah!.

Satu hal yang pasti dalam lalulintas politik kita hari ini adalah, para kandidat telah turun gunung melakukan starting konsolidasi politik. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana para tim pemenang membranding kandidat mereka di ruang publik. Ini menandakan bahwasanya telah terjadinya pengabaian kewajiban secara serentak yang dilakukan oleh anggota dewan aktif yang berstatus sebagai kandidat.

Bagi penulis, ini adalah fenomena terjadinya kemunduran dan kehancuran demokrasi yang dimulai dari dalam. Oleh karena mereka lebih fokus pada kerja konsolidasi politik ditengah nimbrungnya kewajiban sebagai anggota dewan aktif ketimbang mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana substansi dari demokrasi itu. Subtansi dari demokrasi adalah “Kesejahteraan Rakyat” atau dalam urutan pancasila sila ke lima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Inilah tujuan ideal yang harus diwujudkan oleh mereka yang saat ini aktif duduk di kursi parlemen. Itulah yang dimaksud dengan Demokrasi!
Demokrasi tidak sebatas Pencoblosan, tidak pula sebagai arena merebut kekuasaan, mengalahkan lawan politik dan panggung adu strategi dan taktik.

Tapi lebih dari itu demokrasi adalah sebuah dunia ideal yang diisi dengan hukum-hukum universal, dunia tanpa penghisapan, dunia yang mewujud dalam bentuk Kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Olehnya, untuk menjaga kelangsungan demokrasi yang berkualitas dan subtantif, wacana pemilu saat ini harus dibatasi diruang publik, batasan ini dimaksud agar ruang publik di isi tema-tema subtantif tentang apakah rakyat sudah merasakan kesejahteraan? Apakah keadilan sudah benar-benar ditegakkan? Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat malut saat ini? Dan bagaimana pemerataan pendidikan bagi yang kaya dan si miskin? Pun masalah kejahatan lingkungan hidup yang terjadi disekitar kita, apakah para anggota dewan sudah pernah angkat bicara? Tema-tema inilah yang harus di usung sebagai wacana publik agar masyarakat tau mereka telah berbuat apa selama 5 tahun berjabat? Bukan wacana 2024 pilih siapa!.(**).

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *