“Sekitaran 12.000 Desa khususnya di wilayah pesisir akan terancam akibat naiknya permukaan air laut”
Oleh : Bung Awhy
(Ketua Umum DPK GMNI Teknik UMMU Ternate)
Saat negara-negara dunia sedang gencar-gencarnya menekan emisi karbon, di Indonesia justru sebaliknya. Lihat saja kondisi Maluku Utara hari ini, sebagian hutan yang hijau dan sejuk itu sudah berubah merah dan panas, akibat dari ekspansi industrialisasi berbasis pertambangan batu bara, nikel dan emas di wilayah Maluku Utara. Padahal hutan merupakan salah satu sektor alami yang dapat menghirup karbon dan membantu manusia dari bahaya pemanasan global. Gas semacam CO2 yang membentuk rumah kaca sehingga sinar matahari terperangkap dan membuat bumi semakin panas.
Maluku Utara masuk pada wilayah MGP (Merapi, Gempa, dan Pulau Kecil) yang itu berarti Maluku Utara merupakan kategori kawasan yang cukup rawan terkena imbas pemanasan global. Perubahan iklim ini terus berlanjut dan hampir di semua daerah merasakan perubahan iklim yang ekstrem ini. Ada sekitaran 12.000 Desa khususnya di wilayah pesisir bakal terancam akibat naiknya permukaan air laut. (Baca : Masri Anwar, Petani dan keinginan merebut kembali tanahnya)
Wilayahnya yang kecil namun bukaan tutupan hutannya yang semakin diperlebar, implementasi pembangunan yang diterapkan semacam ini akan membawa dampak buruk berkepanjangan. Kalau saja tidak ada antisipasi dan pemikiran yang matang dari pemangku kebijakan. Namun sayang, menaruh harap ke pemerintah seperti menaruh harapan pada patung mati. Sebab orientasi kebijakan pembangunan yang ada, seakan-akan membawa daerah ini ke mulut bencana. Kita seperti umpan hidup yang siap untuk ditelan. Pembangunan berbasis industrialisasi pertambangan ini jika terus berlanjut maka kita tinggal menunggu waktu untuk menerima bencana alam yang datang.
Dari ekspansi perluasan wilayah produksi pertambangan ini tentu kita tahu secara bersama bahwa dampak dari bukaan tutup hutan dengan ribuan hektar itu sangat berdampak buruk bagi lingkungan endemik dan kehidupan masyarakat lingkar tambang. Sudah banyak fakta yang memperlihatkan bagaimana suku-suku nomaden kehilangan tempat tinggal dan lahan berburu. Tidak hanya itu, krisis ekologi sampai konflik agraria yang semakin meningkat.
Masalah-masalah yang harus dihadapi masyarakat sangat banyak, masalah sengketa lahan pertanian,kesehatan, pemerkosaan, krisis kebudayaan, kehilangan lahan,dan bahkan seringkali terjadi pembunuhan belum juga selesai sampai saat ini. Dari sekian banyak kasus-kasus yang terjadi di Indonesia selalu bermuara dari kehadiran tambang. Karena jauh sebelum kehadiran perusahaan tambang, masyarakat masih bisa berburu, berkebun, menangkap ikan dan aktifitas lainnya dengan aman dan nyaman. Namun sayangnya semua itu sudah hilang.
Lingkungan yang sehat. Sungai untuk mencuci pakaian dan mandi, hutan tempat berburuh, berkebun, laut dengan biota dan sumber daya laut lainnya tinggal cerita. Aktifitas dan kebudayaan itu berangsur-angsur akan hilang karena dominasi korporat dengan misi imperialismenya telah berhasil menembus pertahanan terakhir masyarakat yakni tempat lahirnya sebuah kebudayaan.
Kondisi ini sejalan dengan apa yang pernah di ungkapkan oleh Juri Lina, penulis Swedia, “Kalau ingin menaklukkan sebuah negeri, tanpa melalui militer, cukup lakukan tiga langkah Kaburkan sejarahnya, Hancurkan Bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa di buktikan kebenarannya, dan Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.” (Baca : M Arief Pranoto & Hendrajit, Perang Asimetris Skema Penjajahan Gaya Baru)
Kebijakan pemerintah melalui peraturan-peraturan juga ikut menyokong laju investasi pertambangan. Akhirnya, karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak, terpaksa masyarakat dilema karena semua sumber untuk bertahan itu sudah milik oligarki.
Maka tidak ada pilihan lain selain menerima kebudayaan baru dan bekerja sebagai buruh kasar di pabrik-pabrik. Episode tuan tanah yang menjadi budak di tanahnya sendiri sudah dimulai. Sungguh miris dan ironisnya negeri ini.(**).