Tidak ada lagi tanah masyarakat, bahkan hak hidup layak dengan lingkungan sekitar pun telah menjadi debu lantaran aktifitas eksploitasi perusahan.
Oleh: Awan Malaka
(Pengurus Literasi Kaum Muda Desa Sakam)
Beberapa dekade yang lalu, kehidupan masyarakat setempat berjalan normal di berbagai sektor terutama aktifitas ekonomi sebelum masyarakat Patani Timur, Halmahera Tengah lakukan proses kaplingan massal di belantara hutan dan tragedi pembantaian tiga orang warga pada tanggal 20 Maret 2021 lalu.
Pada bagian bagian beragamnya komoditas, terkhususnya kebun pala, kelapa, cengkih, merupakan tiga dari sekian banyaknya objek pendapatan yang merupakan faktor kesejahteraan kolektif yang secara langsung menyuplai kebutuhan primer dan sekunder.
Coba kita lihat, ribuan tahun orang-orang terkemuka di negeri Patani mewariskan komoditi tersebut tidak ada satupun anak cucu mereka yang korban karena mati kelaparan, tidak ada satupun anak cucu sebagai budak dalam proses memanen hasil, bahkan tidak berdampak pada semua keburukan daripada kehancuran hutan, krisis air, dan berupa eskalasi konflik lain yang berpotensi terjadi.
Melainkan sebaliknya, orang-orang terdahulu berhasil mencetak anak cucu yang tumbuh berkembang dengan baik tanpa merusak alam, patut pada nilai sosial dan kemanusiaan apalagi kekeluargaan. Mereka hidup sempurna dan merdeka dengan hasil komoditas yang dititipkan tanpa ada sistem kapitalisme dan politik praktis yang mengorbankan hutan/tanah, sungai, hingga merugikan antar sesama individu, kelompok, dan atau masyarakat secara keseluruhan.
Secara historis, komoditas yang ada hingga hari ini menjadi identitas masyarakat Patani Halmahera yang diperjuangkan oleh leluhur rempah-rempah di tengah perebutan wilayah antar negara Portugis, Spanyol, dan sejumlah negara yang tercatat dalam sejarah rempah-rempah.
Diketahui, perjuangan panjang para leluhur hingga merelakan jiwa dan raga untuk penerus terkini merupakan batasan dan mengingatkan pada sejarah bahwa daratan dan lautan jangan dihancurkan untuk kepentingan kolonial dan imperialisme dengan sistem aneksasi tanam paksa ekonomi kapitalisme juga kekuasaan, sebab jika hal ini diiyakan maka akan berakibat fatal pada kehidupan manusia di jalan Tuhan menuju akhirat.
Hari ini, orang-orang Patani Halmahera khususnya Patani Timur diperhadapkan dengan salah satu peristiwa yaitu tragedi pembantaian di Hutan Patani. Sepaskah itu disusul lagi dengan Issue perusahan yang berstatus Batu Bara.
Dari perkembangan situasi di tengah masyarakat Patani seperti ini sangatlah strategis dan tragis bahwa negara sengaja mengubah sistem ekonomi lokal untuk dijadikan sebagai sistem industri pertambangan.
Dibawah bayang-bayang kesejahteraan untuk menjadi orang berkelas dengan berstatus kaya material, maka tentu saja ia akan instan menginginkan kehidupan yang lebih moderen ini.
Padahal, poin ini sangat di antisipasi oleh Jeand Baudrilard melalui bukunya “Masyarakat Konsumtif“, bahwa pikiran masyarakat telah dimodernisasikan sehingga melihat sesuatu hanya pada simbol. Contoh di antaranya ialah simbol ekonomi. (Baca: Hypersemiotika).
Jadi orang-orang dalam poros terkini mulai berkembang menata hidupnya pada simbol ekonomi bukan lagi makna daripada simbol itu sendiri.
Jika ditelusuri lebih jauh, maka negara dan pemodal sengaja mempengaruhi masyarakat lokal pada aspek ekonomi industri ekstraktif maupun status perusahaan lainya.
Siap Menanti Kehancuran:
Pada aspek ini tentu semua orang tidak menginginkan terjadi. Tapi apa bedanya jika semua hutan telah digunduli investasi tambang, batu bara misalnya. Karena, sekalipun nilai uang yang diterima orang-orang Patani naik memuncak tentu belum menjamin layaknya hidup bahagia, sejahtera, damai, nyaman, adil, sehat tanpa debu, tanpa krisis air, dan model petaka lainnya.
Bagaimana jadinya apabila hidup sejahtera lalu mengorbankan yang lain. Bahkan kesejahteraan tidak diukur dari seberapa besar nilai kekayaan individu dan kelompok, melainkan kesejahteraan diukur dari bagaimana suatu individu hidup dalam bermasyarakat.
Hanya semata hasil kaplingan orang-orang Patani Timur beserta pengharapan perusahaan dalam tanggungjawab sosialnya, orang-orang instan siap bertempur di laga eksploitasi.
Coba bayangkan; Ekploitasi tanah dan hak-hak masyarakat Lelilef yang dikendalikan PT.IWIP sangat disayangkan karena merupakan kenyataan sadis yang terjadi di Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Tidak ada lagi tanah masyarakat, bahkan hak hidup layak dengan lingkungan sekitar pun telah menjadi debu lantaran aktifitas eksploitasi perusahan. Hitungan jari, tanah milik orang-orang Lelilef diperkirakan 10,1 % bahkan itu dipersiapkan untuk dijadikan lahan pembebasan menuju ekploitasi susulan.
Berdasarkan kenyataan ini lalu bagaimana dengan posisi orang-orang Patani Timur di tengah issue PT. Sinar Asih Sumber Makmur?.
Menjemput perusahan ini sama halnya kita menanti kehancuran. Yaa! tapi orang-orang Patani Timur siap siaga bertarung hidup di laga eksploitasi. Siap mengorbankan identitas dan sejarah.***