Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Penulis: Sunarti ArdimanSunarti Ardiman Bendahara Lembaga Bantuan Hukum Banau Maluku Utara
Penulis: Sunarti ArdimanSunarti Ardiman Bendahara Lembaga Bantuan Hukum Banau Maluku Utara

Penulis: Sunarti Ardiman
Bendahara Lembaga Bantuan Hukum Banau Maluku Utara

 

Beritadetik.id – Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan, korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke remaja, anak anak bahkan balita. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak semakin sering terjadi dan menjadi global hampir di berbagai negara.

Bacaan Lainnya

Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan tersebut tidak hanya dari segi kuantitas atau jumlah kasus yang terjadi, bahkan juga dari kualitas. Dan yang lebih tragis lagi pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak.

Menurut Ricard J. Gelles (Hurairah, 2012), kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Bentuk kekerasan terhadap anak dapat diklasifikasikan menjadi kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial.

Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak dipergunakan sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku.

Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak sebagai korban. Bentuk-bentuk kekerasan seksual itu sendiri bisa dalam tindakan perkosaan ataupun pencabulan (Sari, 2009).

Kekerasan seksual pada anak baik perempuan maupun laki-laki tentu tidak boleh dibiarkan. Kekerasan seksual pada anak adalah pelanggaran moral dan hukum, serta melukai secara fisik dan psikologis. Kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan dalam bentuk sodomi, pemerkosaan, pencabulan, serta incest.

Oleh karena itu, menurut Erlinda (Seketaris Jenderal KPAI) kasus kekerasan seksual terhadap anak itu ibarat fenomena gunung es, atau dapat dikatakan bahwa satu orang korban yang melapor dibelakangnya ada enam anak bahkan lebih yang menjadi korban tetapi tidak melapor, Fenomena kekerasan seksual terhadap anak ini, menunjukkan betapa dunia yang aman bagi anak semakin sempit dan sulit ditemukan.

Bagaimana tidak, dunia anak anak yang seharusnya terisi dengan keceriaan, pembinaan dan penanaman kebaikan, harus berputar balik menjadi sebuah gambaran buram dan potret ketakutan karena anak sekarang telah menjadi subjek pelecehan seksual Menurut Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya.

Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dua dalam kategori berdasar identitas pelaku. Familial Abuse Termasuk familial abuse adalah incest, yaitu kekerasan seksual dimana antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya merawat anak.

Mayer (Tower, 2002) menyebutkan Extra Familial Abuse Kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak tersebut, kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya.

Sang anak biasanya tetap diam karena bila hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarah dari orangtua mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang di mana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan harus diwaspadai.

Kekerasan seksual dengan anak sebagai korban yang dilakukan oleh orang dewasa dikenal sebagai pedophile, dan yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia dapat diartikan ”menyukai anak-anak” (de Yong dalam Tower, 2002). Pengertian anak dalam Pasal 1 Ayat 1 UU No 23 Tahun 2002 tentang Peradilan anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Sedangkan pengertian perlindungan anak menurut Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Kekerasan seksual terhadap anak dapat dilihat dari sudut pandang biologis dan sosial, yang kesemuanya berkaitan dengan dampak psikologis pada anak. Secara biologis, sebelum pubertas, organ-organ vital anak tidak disiapkan untuk melakukan hubungan intim, apalagi untuk organ yang memang tidak ditujukan untuk hubungan intim. Jika dipaksakan, maka tindakan tersebut akan merusak jaringan.

Ketika terjadi kerusakan secara fisik, maka telah terjadi tindak kekerasan. Sedangkan dari sudut pandang sosial, karena dorongan seksual dilampiaskan secara sembunyi-sembunyi, tentu saja pelaku tidak ingin diketahui oleh orang lain. Pelaku akan berusaha membuat anak yang menjadi sasaran ‘tutup mulut’. Salah satu cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan intimidasi

Langkah paling sederhana untuk melindungi anak dari kekerasan seksual bisa dilakukan oleh individu dan keluarga. Orangtua memegang peranan penting dalam menjaga anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Orangtua harus benar-benar peka jika melihat sinyal yang tak biasa dari anaknya. Namun, tak semua korban kekerasan seksual bakal menunjukkan tandatanda yang mudah dikenali.

Terutama apabila si pelaku melakukan pendekatan secara persuasif dan meyakinkan korban apa yang terjadi antara pelaku dan korban merupakan hal wajar. Kesulitan yang umumnya dihadapi oleh pihak keluarga maupun ahli saat membantu proses pemulihan anak-anak korban kekerasan seksual dibandingkan dengan korban yang lebih dewasa adalah kesulitan dalam mengenali perasaan dan pikiran korban saat peristiwa tersebut terjadi. Anak-anak cenderung sulit mendeskripsikan secara verbal dengan jelas mengenai proses mental yang terjadi saat mereka mengalami peristiwa tersebut.

Penanganan kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya peran serta masyakarat, dengan memerhatikan aspek pencegahan yang melibatkan warga dan juga melibatkan anak-anak, yang bertujuan memberikanperlindungan pada anak di tingkat akar rumput. Keterlibatan anak-anak dibutuhkan sebagai salah satu referensi untuk mendeteksi adanya kasus kekerasan yang mereka alami.

Minimal, anak diajarkan untuk mengenali, menolak dan melaporkan potensi ancaman kekerasan. Upaya perlindungan anak dilakukan dengan membangun mekanisme lokal, yang bertujuan untuk menciptakan jaringan dan lingkungan yang protektif.

Berkaitan dengan peran masyarakat oleh media massa harus dilakukan dengan bijaksana demi perlindungan anak karena dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan Pasal 64, “perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”.

Artinya dalam hal ini seharusnya masyarakat ikut membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban.

Perlakuan semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyaraka. fenomena kekerasan seksual terhadap anak yang semakin memprihatikan dapat ditafsirkan sebagai kegagalan Negara dalam menjamin rasa aman dan perlindungan terhadap anakanak.

Negara telah melakukan “pembiaran” munculnya kekerasan seksual disekitar anakanak. Oleh karena itu, peran negara tentu paling besar dalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, pada hakikatnya negara memiliki kemampuan untuk membentuk kesiapan individu, keluarga serta masyarakat.

Negara dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anakanak kita sebagai generasi penerus. Oleh karena itu, Pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi warga negaranya dari korban kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak.

Tetapi dalam kenyataannya, meskipun sudah ada jaminan peraturan yang mampu melindungi anak, namun fakta membuktikan bahwa peraturan tersebut belum dapat melindungi anak dari tindakan kekerasan seksual Kenyataannya, tidak sedikit kekerasan seksual yang mengalami kekerasan seksual maupun keluarganya tidak mau melaporkan ke pihak berwajib dengan alasan hal tersebut merupakan aib ataupun takut adanya stigma terhadap anak nantinya apabila diketahui oleh masyarakat luas.

Oleh karena itu, perlu dibentuknya lembaga sosial untuk menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan maupun kekerasan seksual. Oleh karena itu, terkait kekerasan seksual dengan anak sebagai korbannya, perlu adanya upaya preventif dan represif dari pemerintah.

Upaya preventif perlu dilakukan dengan dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan seperti perkosaan. Lembaga penyantun korban semacam ini sudah sangat mendesak, mengingat viktimisasi yang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini sangat memprihatinkan.

Melihat dampak yang diakibatkan oleh kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak yang menjadi korban, maka dalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak sangat penting peran aktif masyarakat, individu, dan pemerintah. Perlu adanya pendekatan berbasis sistem dalam penanganan kekerasan seksual anak. Sistem perlindungan anak yang efektif mensyarakatkan adanya komponen-komponen yang saling terkait.

Komponen-komponen ini meliputi sistem kesejahteraan sosial bagi anak anak dan keluarga, sistem peradilan yang sesuai dengan standar internasional, dan mekanisme untuk mendorong perilaku yang tepat dalam masyarakat.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *