Peran Panwascam Dalam Pesta Demokrasi

Darmawan Jufri (Anak Muda Patani Timur Halmahera Tengah).

“Bangun pencerahan politik berbasis gagasan, sosialisasikan bagaimana sesungguhnya kita berdemokrasi”

Oleh: Darmawan Jufri

(Anak Muda Patani Timur Halmahera Tengah)

Bacaan Lainnya

Negara Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam berdemokrasi, baik secara prosedural maupun substansial.

Bermula dari “Demokrasi”!
Demokrasi secara etimologi di bagi menjadi dua, demos yang artinya rakyat sementara kratos ialah pemerintahan/kekuasaan.

Menurut Abraham Lincon, demokrasi adalah satu hal yang didasari oleh rakyat, bahwa demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Melalui mazhab demokrasi, maka kedaulatan tertinggi ada pada rakyat. Terkadang suara rakyat dibungkam oleh pejabat publik, negara misalnya. Basi bagi penguasa saat mendengar suara rakyat.

Padahal kata Tan Malaka, selain berpegang teguh pada demokrasi value, suara kedaulatan rakyat juga merupakan suara Tuhan.

Di Indonesia, demokrasi sendiri merupakan sistem politik untuk mengakomodir suara masyarakat dalam bentuk partisipasi suara, dalam hal  pengambilan keputusan secara bersama demi keadilan ekonomi dan pembangunan, keadilan politik, dll.

Berbicara demokrasi tentu banyak hal yang akan dijumpai, semisal demokrasi konstitusional, demokrasi ekonomi, pemerintahan, kerakyatan, dan masi banyak lagi sub-sub berdemokrasi.

Lantas, bagaimana dengan warga Negara Indonesia menuju tahun politik 2024. Pada posisi ini tentu akan menjadi momentum demokrasi yang melibatkan semua unsur untuk turut berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan kepemiluan.

Jauh sebelum masuk pada hal-hal prosedur untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pesta demokrasi, saya akan melalui salah satu penulis yang menggambarkan sedikit proses kemunculan demokrasi yang lahir dari cikal bakal bangsa ini.

Dalam bukunya Sindhunata tentang “Sakitnya Melahirkan Demokrasi”, menyebutkan bahwa demokrasi lahir bagai fajar menyingsing Indonesia sejak pecahnya reformasi. Kelahiran demokrasi di Indonesia seperti penderitaan sang ibu melahirkan anak.

Menurut Sindhunata, sakitnya kelahiran demokrasi dilihat pada fase pemerintahan orde baru dan awal memasuki orde reformasi dimana bangsa Indonesia alami penderitaan panjang menuju pemulihan demokrasi substansial.

Mau dan tidak mau demokrasi mesti dijadikan sistem dalam berbangsa dan bernegara. Melihat itu, pemerintahan reformasi langsung menerapkan dengan sesungguhnya demokrasi dijadikan poros utama sebagai sistem politik maupun di pelbagai sektor untuk kepentingan bersama.

Demokrasi dalam pandangan umum tak sekedar adagium yang dipakai dalam mekanisme (aturan) dalam pesta demokrasi atau perayaan pemilihan dimana melibatkan masyarakat umum untuk berpartisipasi suara dalam menentukan figur dari masing-masing partai.

Namun, demokrasi harusnya menjadi grand katalisator konsuldasi terhadap individu masyarakat, bahwa jauh sebelum pesta demokrasi diakan (kepemiluan) demokrasi sudah harus eksis sejak dalam pikiran, diprakarsai oleh agen intelektual untuk merubah paradigma primitif dan atau paradigma penguasa yang berwatak otoriter, materialistik, paternalistik, kapitalistik, arogansi maupun separatisme.

Untuk itu, membangun demokrasi bukan pertama-tama membangun sistem demokrasi, melainkan membangun pola laku dan sikap hidup berdemokrasi.

Itulah sebabnya, lintas kalangan pejabat negara mulai dari orde baru-reformasi bahkan hari ini demokrasi kental hanya dijadikan sebagai grand sistem tunggal yang hanya mengarah pada kontestasi pertarungan politik.

Maksudnya, pada saat memasuki Pemilihan Umum (Pemilu) selalu saja terjadi kecurangan dan atau timbul polemik hingga konflik antar sesama masyarakat yang disogok dengan mani of power (uang) untuk merebut kemenangan bagi figur (kandidat). Hal ini terekam mulai dari momentum Pilkades, Legislatif, Pilkada dan Pilpres.

Merphin Panjaitan, dalam bukunya tentang “Logika Demokrasi”. Sudut pandang Merphin membagi dua kerangka logika, yakni logika demokrasi dan logika kekuasaan.

Logika demokrasi cenderung pada proses penyelenggaraan Pemilu diutamakan kepentingan masyarakat dimana demokrasi substansial diprakarsai jauh sebelum pemilihan untuk merubah sikap individu dalam berdemokrasi itu.

Sementara, logika kekuasaan cenderung pada penguatan sistem yang sulit mendapatkan inti berdemokrasi lantaran sistem dikemas hanya untuk kepentingan kekuasaan atau kepentingan kelompok tertentu.

Dari perbedaan logika tersebut maka kita pahami bahwa setiap kepemiluan di helat selalu saja berkontradiksi, bahwa demokrrasi prosedural sulit bertemu dengan demokrasi substansial sebagaimana inti berdemokrasi itu sendiri.

Meski begitu, pada tentunya kita semua tidak bisa menggagalkan telos demokrasi pada aspek perayaan kepemiluan (pesta demokrasi).

Karena itu pesta demokrasi menjadi momentum politik yang diinginkan bersama untuk turut berpartisipasi suara/hak memilih figur sebagai perwakilan masyarakat, baik tingkat Desa, Kecamatan, Daerah, Provinsi dan Pusat.

Kita semua memiliki nawaitu cita yang sama, yaitu sama-sama mengawal dan mengontrol proses jalanya pemilihan umum. Menghindari kecurangan, konflik, dan langkah-langkah lainya yang merugikan martabat antar manusia.

Nah, selain warga negara sebagai pelaku dan aktor dalam pengawasan pemilu demi cita-cita bersama, secara prosedur kita lebih dulu merujuk pada pelaku utama dalam pengawasan, diantaranya Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) tingkat Daerah.

Terlepas dari Bawaslu, Penulis mencoba mengarahkan bagaimana mengenal peran Panitia Pengawasan Pemilihan Umum (Panwaslu) tingkat Kecamatan dalam pesta demokrasi.

Peran Panwaslu Kecamatan:

Panwas dibentuk oleh Bawaslu. Jauh sebelum memasuki kepemiluan Panwaslu sudah dibentuk selama satu bulan berjalan sesuai tahapan pembentukan hingga pelantikan/pembekalan. Diuji kapasitas dan kapabilitas, atau atittude jasmani maupun rohani dalam menjalankan tugas pengawasan.

Panwaslu Kecamatan berperan mengawasi selama proses jalanya pemilihan sesuai yang di atur dalam perundang-undangan.

Memiliki peran signifikan selain Bawaslu, karena itu kinerja Panitia Pengawasan Pemilihan Umum Kecamatan (Panwascam) merupakan kaki tangan dari Bawaslu yang bersifat checks and balances, dengan kata lain cabang dari kontrol aktif Bawaslu itu sendiri.

Panwas di Kecamatan sangat memiliki banyak peran, seperti menerima dan mendengar informasi dari warga terkait dugaan kecurangan Pemilu dan konflik sosial untuk dilaporkan ke Bawaslu Daerah.

Tidak hanya itu, lebih utama adalah Panwas juga menelusuri dugaan-dugaan pelanggaran, diuji, hingga memenuhi syarat pelanggaran yang secepatnya di atasi ditingkat Bawaslu. Hal ini ditegaskan agar demokrasi kita mendapatkan posisi yang aman tanpa dicederai.

Contoh pelanggaran kode etik dari Kepala Desa (Aparatur Pemerintah Desa), BPD, ASN, dan lembaga lainnya yang terlibat dalam proses selama pemilihan berjalan (Politik Praktis).

Berdasarkan sosialisasi perekrutan yang di gelar oleh Bawaslu Halmhahera Tengah melaju via zoom di beberapa pekan lalu, atau merujuk pada keterangan dari salah satu anggota Bawaslu Halteng, Munawar Wahid yang juga sebagai Koordinator Divisi Hukum, Penanganan Pelanggaran dan Sengketa, merilis bahwa;

ASN dilarang karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 Tentang larangan PNS menjadi Anggota Parpol. Pada Pasal 2 Ayat (1) Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau Pengurus partai politik. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 Pasal 5 huruf n PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon anggota DPR, calon anggota DPD, calon anggota DPRD dalam Kampanye.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 28 Ayat (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Untuk TNI, dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 39 Prajurit dilarang terlibat dalam; (1) Kegiatan menjadi anggota partai politik (2) Kegiatan politik praktis.

Bagi Kepala Desa (Kades), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pasal 29 huruf g Kepada desa dilarang menjadi pengurus partai politik. Diundang-undang yang sama juga mengatur larangan bagi perangkat desa. Pasal 48 yang dimaksud dengan perangkat desa meliputi Sekretaris Desa, Pelaksana kewilayahan dan pelaksana teknis. Pasal 51 huruf g Perangkat Desa dilarang menjadi pengurus partai politik. Dan pada Pasal 64 huruf h Anggota Badan permusyawaratan Desa dilarang menjadi pengurus Partai politik.

Nah, berdasarkan dengan sumber-sumber tersebut ialah merupakan bentuk antisipasi fundamental menuju proses cita-cita demokrasi secara prosedural untuk meraih demokrasi substansial sebagiama yang diinginkan bersama tanpa ada pelanggaran yang berpotensi memicu konflik berkepanjangan.

Terlepas ulasan tersebut, kembali lagi dari salah satu contoh kanal peran teknis Panwas seperti memperhatikan dan mengawasi kinerja PPS dan KPPS untuk menghindari kesalahan dan atau kecurangan dalam penyelenggaraan dalam pemungutan suara.

Panwas selama bertugas wajib hukumnya bersikap netral tanpa ada keberpihakan kecuali dengan Bawaslu sendiri, dimana hal-hal yang berkaitan dalam kinerja internal tentunya mengikut koridor hukum secara struktural sebagaimana peraturan yang diumumkan oleh Bawaslu.

Selain dari itu, mari simak baik-baik
Persyaratan untuk menjadi calon Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan yang diatur dalam Pasal 117 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada pemilihan mendatang.

Melalui sumber rilisan dari laman bawaslu.halteng.co.id, sebagaiman keterangan resmi yang ditegaskan oleh Ketua Bawaslu Halteng Sitti Hasmah, bahwa Warga Neraga Indonesia harus berusia Minimal 25 Tahun. Setia Kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika dan Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Juga
memiliki integritas, berkepribadian yang kuat, jujur dan adil.

Tidak hanya itu, calon panwaslu pun juga memiliki kemampuan dan keahlian yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu, Ketatanegaraan kepartaian dan Pengawasan Pemilu.

Selain itu, berpendidikan minimal SMA/Sederajat, mampu secara jasmani, rohani dan bebas dari penyalahgunaan narkotika.

Kemudian, mengundurkan diri dari keanggotaan Parpol sekurang-kurangnya 5 tahun pada saat mendaftar sebagai calon Panwaslu Kecamatan, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam sebagai pidana penjara lima tahun atau lebih.

Lebih lanjut, bersedia bekerja penuh waktu dibuktikan dengan surat pernyataan,
bersedia tidak menduduki jabatan politik, jabatan pemerintahan dan/atau BUMN/BUMD selama masa keanggotaan apabila terpilih.

Dan jika terpilih, maka bersedia mengundurkan diri dari organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum atau tidak. Juga tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara Pemilu.

Demikian, dalam rangka menjaga kestabilan selama pesta demokrasi berjalan maka semua unsur kemasyarakatan maupun siapa saja diwajibkan untuk bersama mengawasi dan mengontrol agar kita semua terhindar dari konflik politik.

Terutama adalah Panwascam yang menjadi pelaku utama, dipandang perlu menjaga sikap kenetralan selama menjalankan perannya sebagai Panwas demi menyelamatkan Pemilu tingkat kecamatan tanpa ada gesekan politis.

“Bangun pencerahan politik berbasis gagasan, sosialisasikan bagaimana sesungguhnya kita berdemokrasi”. (***).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *