Opini: Kampus dan Kesetaraan Gender

Aswan Kharie, Mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Unipas Morotai.
Aswan Kharie, Mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Unipas Morotai.

Oleh: Aswan Kharie

Publik sering digegerkan dengan kasus kekerasan seksual baik diluar maupun di lingkungan kampus. Namun kasus-kasus semacam ini kerap kali terkubur oleh waktu atau diselesaikan lewat jalan gelap sehingga tidak lagi menjadi bahan edukasi dan dikonsumsi publik.

Kampus sebagai mimbar akademik dan tempat beternaknya pikiran serta menelurkan beragam gagasan. Budaya intelektual seketika mati di hadapan keegoisan diri karena tidak berdaya menempatkan perempuan sebagai kelompok yang diunggulkan dalam hak dan kebebasan politik.

Bacaan Lainnya

Persoalan begituan sebetulnya menandakan bahwa kesetaraan gender tidak terjawab sama sekali di ruang akademi (kampus) atau pun umumnya, tetapi bergumang retoris dengan tepuk tangan.

Hal inilah yang membuat partisipasi perempuan tidak memiliki kebebasan untuk para ekofeminis. Dalam fenomena yang terjadi dimasyarakat, sering ditemui masalah terkait dengan pembatasan keterlibatan perempuan di sektor politik. hal ini dibuktikan dengan seringnya perempuan ditempatkan dalam posisi yang tidak terlalu strategis dalam struktur sosial.

Bahkan jabatan paling tinggi yang ditempati perempuan adalah sebagai pekerja dapur, karena dianggap hanya mampu mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan hal yang paling rendah ataupun menjadi bawahan laki-laki yang siap diperintah atas dasar patriarki.

Kondisi ini tentu dengan sendirinya dapat mengakibatkan ruang akademik hanya dikuasai oleh sebagian orang (laki-laki), sementara di sana kelompok lain (perempuan) mengalami korban dari sikap sepihak. Budaya patriarki telah memprioritaskan laki-laki sebagai pemimpin. Selain itu, peran ganda perempuan membuat mereka kesulitan menapaki jenjang karier.

Di lain pihak, perguruan tinggi dikelola dengan kesadaran gender terbatas sehingga tak responsif untuk menyediakan fasilitas yang dapat mendukung kinerja perempuan di kampus. Tidak semestinya pikiran perempuan harus menyesuaikan dengan sistem sosial patriarki, yang tentu saja melanggengkan dominasi laki-laki dan mengharuskan perempuan harus tunduk dan diam.

Seperti yang di ungkapkan oleh Mary Wollstonecraft bahwa perempuan, seperti halnya laki-laki, mampu untuk mengembangkan kapasitas intelektual dan moralitas mereka. Hal ini berarti bahwa perempuan adalah mahkluk yang rasional seperti laki-laki yang juga mempunyai hak untuk ikut serta dalam kehidupan publik, seperti untuk memberikan sumbangan pikiran tentang isu-isu politik, sosial dan moral.

Kampus seharusnya memiliki kebijakan afirmatif, agar perempuan tidak mengalami kelangkaan dalam meraih golongan dan dapat memposisikan diri dalam jabatan strategis. Kurangnya keterwakilan perempuan di posisi pengambil kebijakan dapat mempengaruhi bagaimana peran mahasasiwa dalam menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa itu sendiri. Dan untuk mengatasi hambatan tersebut, kita seharusnya sadar bahwa kebijakan afirmatif itu sangat diperlukan guna meningkatkan keterwakilan perempuan, terutama dalam hal kepemimpinan.

Keterwakilan perempuan dalam unsur pimpinan, itu penting guna memastikan setiap kebijakan perguruan tinggi dapat mengakomodasi keadilan gender. Walaupun kemampuan untuk bersikap adil gender tidak eksklusif milik jenis kelamin tertentu. Namun, pengalaman sehari-hari perempuan akan lebih bisa menjamin munculnya kesadaran tentang perlunya kebijakan yang tepat guna mendorong pengembangan karier perempuan maupun menyediakan ruang aman bagi perempuan di kampus.

Perlu untuk kita merefleksikan bersama ungkapan ungkapan Nawal El Syadawi. “Women are half the society. You cannot have a revolution without women. You cannot have democracy without women. You cannot have equality without women. You can’t have anything without women” yang artinya bahwa perempuan merupakan setengah dari masyarakat. Kamu tidak dapat mengalami revolusi tanpa perempuan. Kamu tidak dapat memiliki demokrasi tanpa perempuan. Kamu tidak bisa memiliki kesetaraan tanpa perempuan. Dan kamu tidak bisa mendapatkan apa-apa tanpa perempempuan.

Kesetaraan gender adalah isu yang sudah lama ada. Tidak sedikit upaya yang dilakukan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan. Tidak sedikit pula hasil dari upaya perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Misalnya parah toko feminisme Seperti Betty Friedan, Raden Adjeng Kartini, Malala Yousafzai dan masi banyak lagi.

Dan tanpa kebijakan semacam itu, mustahil ketimpangan gender beserta berbagai dampaknya bisa diatasi. Kebijakan afirmatif perlu segera diterapkan guna meningkatkan karier akademik perempuan dan mendorong keterwakilan perempuan dalam memimpin perguruan tinggi. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *