Puisi Tentang Pemekaran di Pulau Morotai

Julfikar Balaha, foto: (ul/beritadetik.id).
Julfikar Balaha, foto: (ul/beritadetik.id).

Tiga belas tahun yang lalu, ada 1001 cerita Yang penuh terjal dalam lensa nostalgia.

Sejuta tangis, harap dan mimpi akan sebuah perubahan, tentang Morotai di masa depan.

Tanggal, 02 November tahun 2006 silam, Ribuan warga menyatu di Pasar Cita.

Bacaan Lainnya

Proklamasi itu, tertulis dalam titah pemekaran Agar terbebas dari belenggu penindasan peradaban.

Pemekaran.
Cukong-cukong tertawa terbahak-bahak, Sebab ragu akan ekspektasi yang pasti.

Tapi pejuang terus gigih berjuang berdarah-darah rai pemekaran.

29 Oktober 2008, dengung senyuman membungkus Bahagia. Iya memang bahagia karena Morotai resmi diketuk menjadi otonomi baru di bibir Pasifik.

Pemekaran.
Kini, semuanya telah menikmati, gedung-gedung megah berbaris di kota Daruba tetapi dibalik itu, tangisan rakyat mengalir-ngalir.

Bagai air terjun di desa Raja, merayap sampai ke Tiley.
Ini fakta bukan kocokan fiksi.

Pemekaran. Sepuluh raja telah menikmati singgasana, para tokoh saling menikam. Anak muda juga bertikai.

Membuat pecundang mengambil posisi, banyak pahlawan menjerit-jerit.
Tetapi semua telah terjadi
Iya telah terjadi.

Mari bersatu lagi kita rebut titah pemekaran.
Jangan biarkan perampok menari-nari dan bernyanyi di atas kepedihan tangisan para pejuang Pemekaran.

Kau, aku, dia dan kita semua.
Ini dosa besar terhadap bangsa di Morotai. Bagaikan tol yang dibangun Jokowi.

Sadarlah wahai para pemuda yang hidup di tanah para jenderal. Jangan berdebat tentang siapa yang berdosa.

Tetapi bersatu padu rai bahagia demi mengisi hasrat pemekaran, karena kita adalah penerus pewaris tahta pemekaran.

Karena kita adalah penentu kiblat masa depan Kabupaten Pulau Morotai.

Morotai, 12 Agustus 2022

Karya : Julfikar Balaha

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *