Postur Pendidikan Di Morotai Yang Amoralis Dengan Dongeng Sekolah Unggulan | Opini

La'ode L. Madelis
La'ode L. Madelis

Oleh : Lasurdin L. Madelis

 

Jurnalis Harianteks.com, Ketua Forum Jurnalis Online Morotai (FJOM), Sekretaris DPD-KNPI Morotai, Anggota Komunitas Parlemen Jalanan Muluku Utara (KPJ-MU), dan Anggota Komunitas Bangsaha.

Bacaan Lainnya

Pendidikan seyogyanya mendewasakan pikiran manusia. Hal yang agak selaras juga dikemukakan salah satu toko pendidika brazil terkemuka, Paulo Freire, pendidikan sejatinya memanusiakan manusia. Mengutip buah pikirnya sang punggawa timur tenga, Imam Al Ghazali, berpendapat bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayat melalui berbagai ilmu pengetahuan.

Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara sendiri yang dibekukan sebagai toko pendidikan nasional atau peletak fondasi pendidikan di indonesia, bahwa pendidikan adalah upaya untuk memajukan bertumbuhnya pendidikan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran, serta tubuh anak.

Pendidikan (Pedagogi) juga banyak diartikan oleh para pesohor atau fouding Fathers yang notabenenya tak jauh berbeda dengan tujuan pendidikan dalam Undang – undang 1945 alinea ke 4, yaitu membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ing Ngarso Sung Tulodo artinya nmenjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan.

Ing Madyo Mbangun Karso, artinya seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat.

Tut Wuri Handayani, seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.

Dari rangkaian ulasan diatas, tentu kita mampu menyimpulkan inti sari dari pendidikan itu sendiri. Bahwa, hal yang bersifat utama ialah menumbuhkan moralitas pelajar, agar toleransi dan hunungan sosial di mana saja bisa terbangun dan terpelihara.

Sebagai pemerhati umum, saya begitu tergetar dengan situasi dan kondisi pendidikan di morotai, yang sangat tergeser jauh dari konsensus ketetapan kebijakan dalam dunia pendidikan, maupun tujuan dan hakikat pendidikan itu sendiri. Dikarenakan, banyaknya kasus pencabulan oleh tenaga pengajar (Guru) terhadap murid itu sendiri.

Presentasi pendidikan di morotai tentang adanya sekolah unggulan, bagi saya itu adalah omong kosong belaka. Karena, bangunan atau prasarana dan sarana, sejauh ini tidak mampu menepis persoalan kasus pencabulan dimorotai, bahkan itu terjadi di sekolah unggulan itu sendiri. Selain itu, ironisnya ialah beberapa pelaku tidak disidang kode etik dan bahkan diberikan posisi strategis atau kasubag dan sebagian diberikan kembali ruang untuk mengajar.

Berdasarkan informasi faktual yang berhasil saya rangkul, dua tahun terakhir sejak tahun 2021 hingga 2022 Kejari Morotai telah menerima 18 kasus pencabulan. Dan kurang lebih sepulu kasus itu terjadi disekolah, yaitu guru mencabuli muridnya sendiri. adapun publikasi media masa atau pemberitaan, polres morotai telah menerima dan menangani sembilan kasus di tahun 2022. Ini artinya, prinsip pendidikan yang mengacu penu pada kecerdasan dan kedewasaan telah terkabiri oleh lalainya sistem yang ada.

Sejak dua tahun terakhir kemarin, sungguh sangat berkecamuk kisru pencabulan di kabupaten pulau morotai, hingga menjadi wacana hangat dilintas publik. Entah, apakah pengaru jaman teknologi yang semakin tak terkendali, dan minimnya kontrol agama, atauka lemahnya hukum, sehingga kasus pencabulan ini terus bermunculan. Maka pantas tidaknya, pendidikan dimorotai kita sebut saja “Bercorak Amoralis”.

Amoral, atau tidak bermoral bukan seakan maksud ini hanya bertumpu pada pelaku guru yang menjadi tenaga pengajar disekolah. Akan tetapi, hampir sebagian besar yang menjadi unsur dan satuan tugas serta pemangku kebijakan yang berkaitan tentu gagal dalam membangun peradaban daerah dari sektor pendidikan. Sehingga, silih berganti masalah yang terjadi disektor pendidikan itu sendiri.

Amoralis sesuai terminologinya, adalah krisis moral, atau perihal moral seakan termarginalkan. Padahal, moralitas seseoarang harusnya dibangun atau dibentuk lewat rana pendidikan. Layaknya sang lokomotif Filsafat klasik, Plato dalam filsafat moralnya ialah, cinta, kebijaksanaa, jujur, serta sikap tahu diri.
Maka pada koridoornya, hal inilah yang seharusnya menjadi barometer dalam lumbung pendidikan.

Sementara sisi amoral lainya disektor pendidikan itu terimplementasi di sekolah-sekolah unggulan yang berada di kabupaten pulau morotai. Yaitu, suport kebijakan yang terkesan pasang surut, atau naik-turun, kadang baik, kadang buruk. Masalah prasarana misalnya, sekolah yang berada di desa-desa ditutup, kemudian disatukan menjadi sekolah terpadu yang disulap menjadi sekolah unggulan. Padahal, endingnya juga banyak menguras anggaran daerah, dan bangunan sekolah lama yang masi bisa dipakai juga terbengkalai bahkan sebagian tidak dipakai hingga rusak.

Fisik maupun non-fisik persoalan yang disebabkan oleh kerja atau ulah manusia, itu tetaplah dianggap sebagai aktualisasi dari orang-orang yang krisis moral. Tak hanya persoalan bangunan yang carut marut, tetapi sarana perlengkapan saat ini mulai bermasalah. Selain sarana belajar berbentuk buku cetak atau buku ajar yang sangat terbatas dan mulai mengurang, teknologi belajar pun tidak semua ada dan merata diseluruh sekolah unggulan yang tersebar di enam kecamatan.

Selain sarana dan prasarana yang tidak tidak merata atau berimbang, sebagian kulaitas bangunan pun abal-abalan sehingga muda rusak atau cepat amruk, bahkan adapun lingkungannya tidak terurus sehingga dikepung rumput, seperti di morotai utara dan jaya dibeberapa waktu lalu. Lebih parahnya lagi, sebab buruk yang ditanggung siswa adalah jarak tempu yang semakin dan sangat jauh sehingga sulit dijangkau dan diakses. Akibatnya siswa kadang terlambat masuk dan kadang juga tidak lagi ingin masuk sekolah karena takut dimarahi parah gurunya, kondisi ini sungguh lebih memperparah situasi pendidikan yang ada di morotai.

Masalah diatas muncul dikarenakan penyediaan sarana transportasi angkutan siswa atau Bus-Sekolah yang duluhnya ada dan agak lancar, akhir-akhir ini mulai terbengkalai, dibagian pedesaan tidak lagi dioperasikan untuk mengangkut atau antar jemput siswa, bahkan tidak mencukupi sejak awal, dan saat ini sudah tidak lagi dioperasikan untuk melayani siswa, bahkan sekolah unggulan 1 yang terletak di kota daruba morotai selatan pun tidak lagi difungsikan ful untuk melayani antar jemput siswa. Sehingga setiap harinya siswa harus pergi naik bentor dan pulang banyak yang jalan kaki panas panasan.

Siswa yang setiap harinya pulang jalan kaki dikota daruba, sering saya jumpai mereka dijalan dan mengajak mereka bercerita sembari mewawancari, bahkan banyak keluh kesa yang mereka beberkan, namun itulah manusia yang kadang berkedok malikat, tetapi sisi dalamnya adalah mahkluk yang amoral.
Dan tak heran, kasus ini pun bahkan sudah dibeberkan melalui berita dan sudah terkonfirmasi hinggan menuai respon baik, padahal endingnya juga masi tetap sama. Sungguh amoral.

Sementara untuk progres pembentukan mental siswa, pandang saya tidak terlalu efektif untuk diharapkan lebih siswa lebih rajin masuk sekolah, karena ada hal-hal tertentu yang mesti disadari guru dan pemerintah, ada sebagian siswa taku dan malas ke sekolah karena tidak memiliki uang jajan untuk bisa makan siang disekolah. Terdapat pula, siswa yang terkena mental sehingga malu harus datang ke sekolah, ini diakibatkan karena siswa diminta dan dipaksakan harus memiliki atau memakai baju seragan yang bersih atau baru, padahal orang tua mereka belum sanggup membelikan seragam baru karena mungkin terkendala ekonomi atau keuangan.

Hal-hal diatas harusnya perluh menjadi perhatian penting dan khusus, agar segera diantisipasi guna meminimalisir kasus-kasus diatas, agar tidak semakin parah. Seperti halnya Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter, Agama, dan Budaya ini pun perluh menjadi konsentrasi umum, untuk diterapkan dengan baik disekolah, agar siswa yang tumbuh nanti bisa mencintai tanah air dan bangsa, menyayangi dan saling menjaga antara sesama. Malah bukan nantinya sama seperti guru mereka yang menjadi pelaku pencabulan.

Bahkan, ada guru yang tercandu dengan lagu-lagu joget, yang dengan sengaja mereka menyisipkan kesempatan, membuat kegiatan dimalam hari disekolah dengan meminta para siswa balik ke sekolah lalu mengarkan dan melibatkan siswa untuk belajar dan latihan lagu-lagi joget modern. Padahal siswa yang baru berada dibangku sekolah menenga pertama (SMP), ini tidak wajar bagi saya. Karena, nantinya bisa berdampak pada minimnya penguasaan serta kecintaan terhadap lagu-lagu nasional, lagu religi, hingga lagu adat atau lokal, yang sejatinya lebih bernilai positif.

Hemat saya, sesuai kaca mata objektif, bahwa sisi lain pendidikan di morotai dengan adanya sekolah unggulan belum tentu menjadi solutif atau solusi utama, apabila pendidikan kefokusan pemerintah kabupaten pulau morotai lebih mengutamakan atau memprioritaskan kebijakannya pada program lain. Ini, bukan berarti bahwa pendidikan harus perlu dinomor satukan, tapi tentu membangun bangsa ini dengan asa-asas pancasila dan UUD 1945 yang sebagaimana diamanakan, pasti dengan pendidikan yang demokratis dan berkualitas. Tengok saja jepang paska dibom-bardir Amerika hingga hari ini, dengan begitu cepat mereka bangkit hari ini.

“Selayang pandang yang terakhir, pendidikan yang berkualitas akan melairkan generasi yang cerdas, atau manusia-manusia unggulan”.
Bukan sekolah yang mewah megah.
(Tuntunlah Ilmu Dengan Cinta dan Kebijaksanaan, Bukan Dengan Harta).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *