Merdeka Atas Tanah, Air, Laut dan Udara

Yusril Buang (Aktifis Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara).

 “Sebagai seorang warga Negara, pertanyaan yang hendak saya sampaikan adalah, apa saja keberhasilan kepemimpinan jokowi dalam menjalankan amanat rakyat dan perintah konstitusi?”

Oleh: Yusril Buang                (Mahasiswa Ilmu Hukum UMMU)

Tinggal menghitung jari, hajat akbar Negara akan dilaksanakan secara serentak oleh seluruh rakyat Indonesia, memperingati sebuah epos sejarah besar yang menjadi titik tumpuan sekaligus harapan kolektif bangsa ini. Oleh karena dari perjalanan perjuangan itulah bangsa ini menemui titik klimaks yang dinamik untuk mendeklarasikan sebuah Negara resmi pada 17 agustus 1945. Barangkali pengorbanan berupa harta, darah bahkan nyawa menjadi catatan harian para pejuang, berencana untuk mati hari ini atapun esok adalah tujuan dari perjuangan, pekikan takbir menjadi lafadz wajib yang memecah seantero rasa takut sekaligus membakar amarah juang untuk terus hidup dalam medan laga, adalah medan para mujahid yang mengejewantahkan amarah juang untuk mempertahankan tanah air ini, “Tanah Air Indonesia”.

Bacaan Lainnya

Di 17 agustus 2022 nanti, hari agung itu akan kembali dielakkan, ingatan kolektif bangsa Indonesia semua diarahkan pada kisah-kisah heroik para pejuang/pahlawan, rasa kepemilikan terhadap tanah dan air kembali memuncak, yang kesemuanya itu dilakukan lewat pengibaran bendera, menyanyikan lagu kebangsaan sekaligus agenda-agenda serimonial lain yang menyangkut dengan hajatan kemerdekaan tersebut.

Kurang lebih 12 jam, seluruh masyarakat Indonesia berhimne menundukkan kepala sejenak, semua berantusias dan paka dada bangga menjadi bagian dari Indonesia, merefleksikan sikap tindak selama hidup di atas tanah ini dan menjiwai jejak juang dan pengorbanan para pahlawan yang telah lebih dulu menjumpai sang Kekasih. Rasa bersalah, takut, bangga dan haru mewarnai tatapan sendu oleh rakyat, lebih-lebih mereka yang memegang tahta berjanji setia pada daulat perjuangan kemerdekaan dan UUD 1945.

Secara garis besar, sebuah Negara disebut merdeka apabila ia (Negara) Otonom dan berkehendak atas tanah airnya sendiri, karena selian menjadi syarat terbentuknya sebuah Negara, tanah air juga merupakan sumber kehidupan yang permanen bagi seluruh masyarakat manusia, dan jika sebaliknya, maka keotonomian, otoritas dan kemerdekaan seluas-luasnya bagi negara itu perlu dipertanyakan ulang sebagai sebuah refleksi kritis atas hajat hidup Negara ini.

Bagi penulis, Kemerdekaan kali ini membawa masalah ganda yang multi dimensional. Kepura-puraan ketertindasan, ekonomi lemah, disorientasi politik, keberpihakan keamanan (aparat) krisis ekologi, korupsi, kemiskinan, pengangguran dan ketidakjelasan hukum menjadi masalah berjaring yang saling menopang, deretan masalah itu menjadi kado kemerdekaan Negara Indonesia yang ke 77 tahun. Bagaimana tidak, disela-sela menuju hari akbar itu kita dihadiahi kasus “Polisi tembak Polisi, di lemahkanya KPK, Invasi China yang tak terkontrol, terbitnya IUP secara goib, kasus papua yang tak berkesudahan disertai kehancuran lingkungan (Tanah Air) yang tak bisa di bendung. Lebih anehnya, ditengah krisis multidimensi itu, Negara malah sibuk berkomentar tentang adu ilmu antara pesulap merah dan gus samsudin, padahal, ada hal prinsip dan urgen yang mesti segera dibahas secara terbuka dan komprehensif.

Sebagai seorang warga Negara, pertanyaan yang hendak saya sampaikan adalah, apa saja keberhasilan kepemimpinan jokowi dalam menjalankan amanat rakyat dan perintah konstitusi? Atau lebih sederhanya adalah, seberapa berkuasakah atau sampai dimana kedaulatan Negara dalam menguasai tanah air dan udara Negara ini?

Data mencatat bahwa total luas wilayah Indonesia adalah 5.193.250 km2 yang mencakup darat dan lautan (https://m.tribunnews.com 2022). Secara umum, luas laut Indonesia lebih besar ketimbang luas darat Indonesia. Kalau kita menggunakan hitungan sederhana untuk mendeteksi seberapa kuat kedaulatan Negara dalam menguasai tanah air dan udaranya, disertai seberapa banyak jata Negara dalam pembagian kue investasi, jawabanya adalah Negara, baik secara hukum (de jure) dan nyata (de facto) lemah atas tanah air dan udaranya dan tak punya otoritas dalam menentukan Persen jatah investasi.

Bagaimana tidak, Wilayah Indonesia timur dalam hal ini wilayah yang notabene dijadikan Negara sebagai dapur APBN diantaranya, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah dibawah penguasaan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). PT IMIP di kuasai oleh 3 Cabang perusahaan diantaranya “Shanghai Decent Investment Group yang mengantongi (49,7% saham), PT Sulawesi Mining Investment mengantongi (PT SMI, 25% saham), ), dan PT Bintangdelapan Investama juga mengantongi (25,3% saham). Begitu juga dengan Maluku Utara dibawah penguasaan Indonesia Weda bay Industrial Park (IWIP) dikuasai oleh tiga cabang perusahaan diantaranya Tsingshan Group 40 %, Huayou Group 30%, dan Zhenshi Group 30%. Ditambah Harita Group yang mengantongi izin pertambangan seluas 5.524 ha melalui dua perusahaan, PT Trimegah Bangun Persada dan PT Gane Permai Sentosa di Pulau Obi, Halmahera Selatan (AEER,Baterai Nikel 2021)

Lalu berapa saham Negara sebagai pemilik wilayah (tanah air) dari perusahaan-perusahaan tersebut? Sementara jelas terhitung bahwa total kepemilikan saham masing-masing mencapai 100% saham. Apakah Negara mendapatkan jatah persen dari insiatif perusahaan? ataukah aliran saham itu mengalir ke kantong para mafia-mafia? Mungkin inilah yang menjadi penyebab masyarakat lingkar tambang khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya tak kunjung sejahtera, malahan pencemaran air, perebutan lahan, gizi buruk dan otak-atik dana CSR oleh Oknum tertentu mewarnai hajat hidup masyarakat lingkar tambang.

Negara tidak memiliki jatah saham yang jelas dalam pembagian kue investasi ditambah Negara juga tidak memiliki kedaulatan yang kuat untuk memberikan sanksi kepada perusahaan apabila kedapatan perusahaan tersebut nyata merusak lingkungan (tanah air dan udara), karena bagi penulis, selain lemahnya pemerintahan, juga terdapat kealpaan konstitusi (Ground Norm) dalam membahas secara khusus tentang perlindungan lingkungan hidup, walaupun dalam UUD 1945 pasal 28H ayat 1 dan pasal 33 ayat 4 telah membahas tentang lingkungan hidup yang sehat dan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, tapi masih terselip kelemahan-kelemahan diakibatkan belum adanya pasal tersendiri untuk membahas tentang perlindungan lingkungan hidup. Kedua pasal diatas merupakan bukti konstitusi Indonesia adalah Konstitusi hijau (Green Constitution) tapi konstitusi Indonesia tidak sehijau Konstitusi ekuador yang telah membedakan antara hak asasi manusia dan hak asasi lingkungan hidup (ekosentris). Berbeda dengan Indonesia yang yang hanya mengakui lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia

Jimili Ashidiqi, Pakar Hukum tata Negara Indonesia merupakan tokoh yang getol mewacanakan tentang konstitusi Hijau, yang baginya Green Constitution harus dibarengi dengan Blue Constitution (Konstitusi Biru) . Konstitusi biru adalah konstitusi yang memiliki kepekaan terkait pengaturan aspek laut, udara, dan luar angkasa. Bahwa konstitusi Indonesia masih belum berwawasan konstitusi biru.

Artinya, Hukum Indonesia belum memvonis secara jelas kepemilikan Negara atas udara dan luar angkasa Indonesia. Lalu, 17 Agustus 2022 yang katanya hari kemerdekaan itu kita (Indonesia) merdeka atas apa?. ***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *