Refleksi 17 Agustus Tahun 2022

(Literasi dan politik)

Oleh: Arafik A Rahman

Penulis Buku, (Perang Pasifik Pemekaran dan Pembangunan).

Bacaan Lainnya

Literacy is reading and writing kompetensi “kemampuan membaca dan menulis”, sedangkan bagi mereka yang hanya dapat membaca disebut semi-iliterate (Carlo M Cipolla, 1960). Dalam perjalanan di era modern literasi dikenal sebagai keterampilan hidup dan pembentuk moralitas manusia. Tentu dengan literasi manusia telah meninggal Zaman batu, zaman perunggu atau yang lazim disebut zaman kegelapan.

Some discovery “beberapa penemuan”, revolusi industri, pergeseran fase kekuasaan dari otoritarianisme, fasisme, monarki absolut dan bahkan kekhalifahan pun berakhir (Turki Utsmaniyah). Itu hanya karena kemajuan suatu peradaban yang namanya literasi. Oleh sebab itu, literasi mestinya tak dapat dilepas dari substansi etik dalam ilmu politik itu sendiri. Tentu politik tak akan berjalan sesuai dengan ihwal kepentingan masyarakat, jika disana tak terdapat kapabilitas para politikus.

Therefore, oleh karena itu melalui momentum 17 Agustus tahun 2022 ini, mari berbenah untuk mendalami literasi. Karena semakin baik kemampuan literasi seseorang, maka semakin baik pula kecakapan memimpin, mengimplementasikan program, berdiplomasi, kemampuan legislasi, controlling dan budjeting.

Mestinya politik dipahami sebagai instrumen untuk mencapai suatu tujuan bersama yang dianggap memilki nilai moral yang lebih tinggi daripada kepentingan jabatan, begitulah yang disampaikan Aristoteles seorang filsuf asal Yunani. Sementara menurut Max Weber, politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Weber melihat negara dari sudut pandang yuridis formal yang statis. Ia menganggap negara memiliki hak memonopoli kekuasaan fisik yang utama dan demi kepentingan masyarakat semata. Namun konsep ini hanya berlaku bagi negara modern yaitu negara yang sudah ada differensiasi dan spesialisasi peranan, negara yang memiliki batas wilayah yang pasti dan penduduknya tidak nomaden.

Kemudian menurut Robson politik adalah kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan yang tidak merakyat. Kekuasaan sendiri adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, baik pikiran maupun perbuatan agar orang tersebut berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginan pemimpin. Kelemahan dari konsep ini adalah tidak dapat dibedakannya konsep berprospek politik dan yang non politik dan juga kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik, masih ada konsep ideologi, legitimasi dan konflik lainnya.

Dengan pemahaman literasi yang kuat, seseorang akan mampu mendistribusikan produk keadilan. Walaupun ia kalah dalam voting parlemen (Negara Demokrasi), tetapi setidaknya ia telah berjuang keras berlandaskan kepentingan masyarakat dan mengabaikan kepentingan pribadi atau kelompok. Jika prinsip-prinsip ini ada dalam pikiran parlemen dan pemimpin, pasti suatu saat nanti akan tiba masanya.

Mereka yang memahami literasi dan politik jika menjadi penguasa, pasti menjalankan sistem ketatanegaraan seiring dengan mengembangkan literasi. Katakanlah Rusia di masa kepemimpinan Lenin, jika terdapat masyarakat yang menolak ikut kursus pemberantasan buta huruf. Itu diancam hukum denda, kerja paksa, dan bahkan kehilangan kartu makanan.

Also in the Turki, at 1970 pemerintah mengumumkan bahwa lapangan kerja di pemerintah hanya tersedia bagi orang-orang yang dapat membaca dan menulis. Di Kubah pada masa kepemimpinan Fidel Castro juga menerapkan program penerapan literasi dengan metode “I can do it” saya pasti bisa. Di Venezuela Hugo Chavez memerangi buta huruf dengan melibatkan semua komponen masyarakat untuk bahu-membahu.

Begitu juga di Indonesia tahun 1948 pada masa kepemimpinan bung Karno juga menerapkan program pemberantasan buta huruf “PBH” yang melibatkan semua komponen masyarakat dan organisasi, sampai saat ini progam itu ditransformasikan menjadi paket A,B dan C.

Saya sengaja membawa anda untuk menyelam beberapa catatan sejarah baik yang kejam maupun yang bijak dan apik.
Saat Romawi dipimpin Julius Caesar, ia menerapkan gaya memimpinnya dengan slogan “Veni, Vidi, Vici” saya datang, saya lihat dan saya menang. Bayangkan saja, setiap daerah yang di datangi Romawi pasti menjadi koloninya.

Begitu juga dengan kepemimpinan Adolf Hitler yang dikenal kejam, ia memimpin Jerman dengan moto Keselamatan dari Hitler atau Hidup Hitler.! Yang di dengung dalam bahasa Jerman yaitu “Ein Volk, ein Reich, ein Führer!” “Satu masyarakat, satu bangsa, satu pemimpin!”. Mengapa Julius Caesar dan Adolf Hitler begitu kejam dalam catatan sejarah? Memang karena mereka kekurangan pasokan literasi. Sebab yang mereka miliki hanyalah sebuah doktrin dan dogmatis atas insting kekuasaan semata.

Bedanya lagi dengan kekuasaan yang diemban oleh tokoh-tokoh muslim, misalnya Baginda nabi Muhammad Saw, Umar bin Khattab, Abu Bakar, Usman bin Affan, Syaidina Ali, sampai pada penakluk Yurusallem oleh Salahuddin Al Ayyubi dan penaklukan konstantinopel oleh Sultan Mahmed atau yang dikenal sebagai sang penakluk “Al-fatih”.

Cerita tentang kepemimpinan para tokoh Islam pasti terdengar sangat menakjubkan, karena kepemimpinan mereka didasarkan pada literasi teologis (Firman dan hadits). Allah SWT memberikan literasi yang pertama adalah Surat Al-Alaq 1-5 merupakan wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Surat itu, diturunkan pada 16 Agustus 610 M.

Saat itu Nabi Muhammad SAW berusia 40 tahun. Dengan maksud agar baginda Rasulullah menyelamatkan umat manusia dari kesesatan yang sulit diperbaiki. Diriwayatkan dalam Al-Qur’an, bahwa “dalam pertemuan pertama nabi Muhammad Saw dengan Malaikat Jibril. Jibril berkata, wahai Muhammad “Bacalah!” Muhammad menjawab, Aku tidak dapat membaca. Lalu Jibril memegang beliau seraya mendekapnya sampai Nabi Muhammad SAW merasa lelah.

Kemudian, Jibril mendekapnya untuk kedua kalinya sampai beliau benar-benar kelelahan. “Bacalah,” ujar Jibril lagi seraya melepas pelukannya. Jawab Muhammad “Aku tidak bisa membaca,” dengan jawaban yang sama. Lalu Jibril mendekap untuk ketiga kalinya, kemudian melepaskan Nabi Muhammad SAW seraya berkata: “Iqra bismirabbikal ladzii khalaq. Khalaqal insaana min ‘alaq. Iqra wa rabbukal akram. Alladzii ‘allama bil qalam. Allamal insaana maa lam ya’lam.”

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmu lah Yang Maha mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena”. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Begitulah pengalan kisah yang menakjubkan dalam Al-Qur’an, bayangkan Allah SWT memerintahkan agar Baginda nabi Muhammad membaca, kemudian memberikan pesan agar menulis pesan-pesan kebaikan untuk disampaikan kepada umat manusia. Substansi dari cerita tentang surat Al-Alag adalah Allah SWT memerintahkan kepada umat manusia tentang literasi.

Same like, literasi yang dimaktub dalam Injil, menurut Jefferson bahwa “Tidak ada cara lain untuk dapat mengenal Tuhan selain membaca melalui halaman-halaman Alkitab yang memberikan kita “terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2 Korintus 4:6). Inilah pemandangan dari puncak yang tidak akan ku tukar dengan hal apapun (Filipi 3:8).

Sebetulnya, literasi sebetulnya sudah disampaikan melalui proses persuasif teologi dalam abad kegelapan. Kemudian di abad pertengahan datanglah konsep literasi yang meliputi berbagai aspek mulai dari science, filsafat tentang etika dan moralitas manusia dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu melalui momentum 17 Agustus tahun 2022 ini, so let we keep ability of literacy. Demi mewujudkan Indonesia hebat di hari ini dan di masa depan nantinya.

Dirgahayu Indonesia ku yang ke 77 Tahun.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *