Duka di Hutan Halmahera

Hutan Patani Timur.|| Foto : (Ilman).

Oleh : Darmawan Jufri
—————————————
Camerad SAMURAI Maluku Utara

PALA satu dari sekian komoditi unggulan petani khususnya bagi warga Patani Halmahera, di tengah tiba musim panen, warga biasanya berbondong-bondong masuk ke lokasi perkebunan pala mereka untuk memanennya.

Meski begitu, kebiasaan itu berlahan mulai berkurang pasca tragedi berdarah di Hutan Patani 20 Maret lalu. Warga tidak bisa pergi seorang diri ke hutan melainkan harus berkelompok atau 4-5 orang, itu pun hanya bagi warga yang memiliki nyali menghadapi OTK yang sering meneror warga setempat.

Bacaan Lainnya

Di sana (Hutan Patani), buah pala berguguran (jatuh ke tanah) karena sudah 5 bulan tak ada yang panen.

Pala Hutan Patani, Nasib tuan mu kini sedang dihantui ketakutan akibat ulah para mahluk tak berprikemanusiaan.

Pembantaian tragis terhadap tiga warga pesisir Patani Timur dan Patani Utara oleh OTK, nyaris darah para korban mengalir di setiap sela-sela pegunungan, aliran sungai, bahkan di bawah pepohonan pala yang rimbun.

Amarah dan sejarah tak pernah kelam dalam ingatan generasi, yang kerap terus melantangkan asal muasal histori peradaban dalam bentuk catatan informasi, romantisme, dan refleksi. Apalagi soal gunung damuli yang di banjiri darah atas tragedi 20 Maret 2021 itu.

Melalui hal ini, tentu parah leluhur mengajarkan kita untuk mempertahankan harkat dan martabat yang tertanam dalam perut gunung damuli.

Satu hal yang menjadi ingatan mendalam adalah terkait eksistensi parah leluhur terdahulu dalam mempelopori gerakan menegakkan keadilan.

“Salah tetap salah”. Prinsip inilah yang digunakan untuk menghalangi kejahatan sekaligus memusnahkan orang-orang yang senang menjajah sejarah dan kemanusiaan.

Pribumi tak ingin mencederai alam. Apalagi setingkat di eksploitasi dengan cara yang tidak wajar, di rampas dengan cara saling membunuh dan atau aksi-aksi lainya yang dinilai sangat merugikan kehidupan dan kemanusiaan itu!

Tak mesti dinafikan, bahwa kita telah mengakui beberapa dimensi manusia yang merupakan bagian integral dari tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dll. Ini artinya, tanah dan air harus di jaga karena itu harga diri manusia.

Tumbuh-tumbuhan seperti komoditi lokal harus di kembangkan karena itu sumber kehidupan manusia, deretan pepohonan harus di jaga pula karena itu satu urat dari perut bumi sekaligus unsur estetika alam semesta.

Namun cinta dan kemanusiaan pun memiliki prinsip keutuhan ketika diri kita dirusak dengan penuh lumuran darah dengan cara tak wajar. Dengan cara apa untuk menyikapi hal itu?, tentu dengan cara perlawanan yang berdasarkan ketauhidan. “Lebih baik mati syahid daripada mati cuma-cum di dunia ini,”Syariati.

Tragedi 20 Maret

Belum hilang dari ingatan kita. Peristiwa pembantaian di belantara hutan Patani, yaitu “Tragedi Berdarah” yang mengakibatkan tiga orang kehilangan nyawa.

Darah mereka mengalir mengikuti derasnya kali Gowonle, tanah Hutan Patani dibasahi dengan darah kaum pribumi, dedaunan Pala dan pepohonan yang rimbun dinodai percikan darah akibat ulah para OTK tak berjiwa kemanusiaan.

Waktu terus berputar, sudah memasuki enam (6) bulan, Kepolisian belum ada kepastian mengungkap ciri-ciri para pembunuh itu.

Melalui hukum, Masyarakat Patani Timur terutama Keluarga korban, menaruh harapan besar kepada pihak kepolisian (Polda Malut) khususnya Polres Halmahera Tengah agar tidak putus asa dalam mengusut pelaku di balik tragedi ini.

Dalil kepolisian atas keterangan saksi-saksi kunci (korban selamat) yang dinilai tidak jelas memberikan petunjuk atas ciri-ciri para OTK, polisi tak boleh berhenti menyelidiki. Ini tugas Polisi, tugas para penegak hukum.

Apapun alasannya, baik TKP jauh dari kampung tak boleh lagi keluar dari mulut aparat karena ini sudah menjadi tugas aparat hukum untuk bekerja.

Refleksi Singkat Kisah Tragedi Berdarah 

Melalui Martawan korban selamat, dirinya menceritakan pada tanggal 20 Maret 2021 sekitar pukul 07.00 WIT, mereka berangkat dari Desa Tepeleo menuju pertigaan jalan untuk melakukan perjalanan ke KM 05 Desa Masure kecamatan Patani Timur Kabupaten Halmahera Tengah.

Pukul 16.00 WIT, para korban tiba di sungai Gowonle, Patani Timur dan beristirahat sambil merokok. Sekitar 1 jam kemudian, tiba-tiba para korban mendapat serangan dari arah depan dengan busur panah sekitar 20 anak panah.

Martawan menceritakan mereka dalam keadaan panik, sehingga dengan spontan mereka langsung melarikan diri dan dirinya (Martawan) sempat melihat salah satu anak panah telah mengenai Risno (salah satu temannya) pada saat melarikan diri.

Sekitar pukul 18.00 WIT, Martawan memberanikan diri untuk kembali sendiri ke TKP dan mendapati korban Risno dalam keadaan terluka di bagian punggung kanan.

“Saat itu saya sedang menjaga teman saya (Risno) yang dalam keadaan terluka. sedangkan teman-teman saya yang lain semua sudah lari terpencar,”tutur saksi hidup kala itu.

Lebih lanjut ia juga mengaku menjaga korban hingga pukul 22.00 malam, namun korban Risno menghembuskan nafas terakhir (Meninggal) karena banyak mengeluarkan darah akibat bujur panah yang mengenai punggungnya.

Ia juga mengisahkan, bahwa saat temannya (Risno) meninggal dunia, saat itu juga Martawan memutuskan meninggalkannya diatas pasir di kali Gowonle lalu bergerak menuju arah pantai.

Senin 22 Maret 2021 sekitar pukul 13.00 WIT, ketika Martawan salah satu (Korban selamat) tiba di Desa Peniti Kecamatan Patani Timur, ia pun menceritakan kejadian yang dialami itu kepada warga setempat.

Dalam peristiwa ini, 4 dari 7 warga yang masuk Hutan berhasil selamat dari serangan OTK, sementara tiga orang meninggal dunia.

Sekedar diketahui, ketujuh orang tersebut sesuai rencana awal mereka ke hutan dengan tujuan untuk mendulang emas di gunung Damuli, belakang Desa Peniti, Patani Timur, namun nahas lebih dulu menimpa mereka.(*).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *