2024 Halmahera Barat Butuh Pemimpin Inovasi, Bukan Jargon Diahi

Penulis: Hasbi Salasa, SH Aktivis HMI Cabang Jakarta Pusat Utara
Penulis: Hasbi Salasa, SH Aktivis HMI Cabang Jakarta Pusat Utara

Penulis : Hasbi Salasa, SH

Perhelatan Pilek, Pilgub bahkan Pilkada tahun 2024 suda mulai di perbincangkan di kalangan aktivis bahkan di tengah-tengah rakyat biasa semakin kencang, Setipa sudut warung kopi, wacana dan tema DIAHI Pemimpin di Tahun 2024 selalu di perbincangkan.

Namun tidak ada salahnya jika kita mulai menggulirkan gagasan pentingnya pemimpin inovatif. Pemimpin yang bukan sekadar mengikuti apa kata pembisiknya atau apa keinginan pengusungnya.

Bacaan Lainnya

Melainkan, pemimpin yang benar-benar menunjukkan kualitas prima dalam memimpin, berkomunikasi bagus, serta mampu mengelola pemerintahan secara transparan serta akuntabel.

Ujung perbincangan soal ini berkaitan pada upaya bertahan hidup sangat dibutuhkan agar bisa bertahan menghadapi tekanan, mengantisipasi perubahan yang cepat, sekaligus beradaptasi pada situasi dinamis.

Semua memiliki langkah yang inovatif, karena semua itu sangat dibutuhkan agar persoalan segera terselesaikan. Di Halmahera Barat saat ini, ada dua kata penting dalam kamus pemerintahan.

Yakni ‘daerah’ dan ‘pusat’. Kata ‘daerah’ mengacu pada dua wilayah, Desa dan Kecamatan. Sedangkan kata ‘pusat’ tertuju pada pusat pemerintahan di Halmahera Barat. Pemimpin daerah yang punya keleluasaan merancang kebijakan yang kreatif, sekaligus inovatif.

Kemungkinan besara para pemimpin akan mendongkrak popularitas bahkan elektabilitas ekonomi yang berbasis inovasi berbuah elektabilitas kepala daerah. Kepala daerah yang berfikir inovatif selalu melihat layanan publik bukan untuk pencitraan.

Sebagai arena yang berinovasi, tentunya, inovasi yang bermanfaat untuk seluruh Masyarakat Halmahera Barat. Bukan sembarang inovasi dan tidak sembarangan berinovasi, itulah yang dilihat Erol Eren dalam artikelnya ”Innovative Leadership for the Twenty-First Century”.

Sebagai pemimpin efektif bisa mengubah kondisi melalui inovasi publik agar di ukur dengan baik. Kepemimpinan semacam itu berorientasi pada kebutuhan warga, menjadikan data sebagai acuan, lalu mengubah situasi tanpa pamrih.

Artikel yang terbit di jurnal Procedia (2012) tersebut juga menyebut, kepemimpinan seperti itu membutuhkan visi yang jelas, dan misi dengan cara baru, proses serta teknik baru ketika melihat layanan prima kepada masyarakat adalah prioritas.

Nilai Kepemimpinan Inovatif itu ada tiga hal penting dalam sebuah kepemimpinan abad ini. Pertama, knowledge creation, kreasi pengetahuan. Kreasi ini membutuhkan dasar pengetahuan yang kuat.

Seorang calon pemimpin tanpa dasar pengetahuan memadai, maka ia akan sulit merancang kebijakan atau program. Kedua, knowledge sharing. Berbagi pengetahuan, ketika mengetahui sesuatu, tidak disimpan sendiri atau tak berbagi.

Calon pemimpin harus bisa berbagi pengetahuan yang ia punya, kepada berbagai pihak. Menurut erol, ada saling percaya dan saling menghormati dalam proses berbagi pengetahuan ini. Kepemimpinan seseorang akan teruji ketika ia mampu meyakinkan siapa saja.

Contoh paling nyata ditunjukkan kepada para pejuang kita, ketika merumuskan Falsafah daerah. Dalam proses perumusan, ada kerjasama berbagi pengetahuan, saling mengisi, saling memberi, saling melengkapi.

Sampai perumusan falsafah itu menjadi final lalu diumumkan sebagai dasar dan ideologi daerah. Proses perumusan ini jarang dilihat dalam bingkai berbagi pengetahuan diantara para pejuang daerah lain, padahal pelajaran penting.

Ketiga, inovasi. Ada dua kata kunci dalam inovasi. Observasi dan aksi.. Dalam sebuah organisasi, tulis , pengetahuan sering mengendap dalam diri masing-masing anggota organisasi. Tetapi, pengetahuan itu muncul ketika para anggota organisasi mengobservasi situasi lalu melakukan aksi.

Perubahan sekaligus peningkatan kinerja birokrasi melayani publik juga tidak lepas dari dua kata kunci ini. Utamanya, ketika hendak mengupayakan peningkatan layanan publik yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah kolaborasi.

Perlu dibangun hubungan saling percaya antara pemimpin dan yang dipimpin, ini sudah lama diperbincangkan. Seorang Calon Kepala Daerah tetap butuh pihak lain. Ia perlu berkolaborasi bukan saja dengan parpol yang mengusungnya, namun juga dengan relawan yang mendukungnya.

Dalam kolaborasi itu harus timbul rasa saling percaya di setiap individu, bebas berkolaborasi dalam proses inovasi ketika hendak menggulirkan program. Bahkan kelak ia harus berbagi pengetahuan guna menciptakan kebijakan atau program baru.

Tak Sekadar Merakyat, rasanya, semangat kerakyatan harus benar-benar ke dalam layanan yang benar-benar bermutu untuk rakyat. Jargonnya ‘DIAHI,’ tapi kenyataannya sama sekali tak berpihak pada ‘DIAHI‘, sudah harus diakhiri.

Jargon semacam itu terbukti telah memanipulasi kesadaran masyarakat, seakan-akan calon pemimpin yang sering turun ke bawah atau blusukan adalah sosok yang memahami apa yang dibutuhkan rakyat.

Kenyataannya, justru jauh panggang dari api, jauh harapan dari kenyataan. Apa yang dibutuhkan rakyat, malah seperti tak dihiraukan. Tampilan merakyat tak menjamin kebijakan yang dikeluarkan benar-benar berpihak pada rakyat.

Situasi ini menunjukkan minimnya pemimpin yang inovasi melayani rakyat, sebab melayani rakyat dianggap hanyalah rutinitas biasa. Apalagi, terjadi keterpisahan antara kebutuhan rakyat dari kebijakan yang digulirkan.

Situasi ini kian menunjukkan merosotnya inovasi. Tak ada terobosan kebijakan untuk mensejahterakan rakyat atau minimal tak menganggu kebutuhan rakyat.

Harus dipahami, rakyat butuh terobosan kebijakan atau program yang benar-benar bermanfaat atau terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, bukan kebijakan dan program putra Pasifik. Itu tantangan kepemimpinan inovatif di masa mendatang.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *