Tragedi dan Kemaksiatan Politik

Tragedi dan Kemaksiatan Politik

Setelah itu, resistensi keadilan dan demokrasi yang terus dibombardir oleh kelompok oposisi pun dibungkam secara seksama”.

Oleh: Awan Malaka

(Pengurus LKM Desa Sakam)

Bacaan Lainnya

Banyak akan mempertanyakan terkait term kemaksiatan, hehe. jawabannya ekpslisit, “adalah individu maupun kelompok yang sengaja menenggelamkan keadilan atas kasus perampasan nyawa di belakang layar politik”.

Kemaksiatan dalam pengertian sayyi’ah, khathi’ah, dzanbun, dan itsmun‎ adalah perilaku atau tindakan manusia yang melanggar hukum moral yang bertentangan dengan ketentuan Tuhan.

Secara umum, terminologi kemaksiatan ialah orang yang melakukan dosa secara personal atau dosa sosial yang ditimbulkan suatu kelompok.

Sementara dalam klasifikasi struktural dosa sosial super power sering dimunculkan oleh kelompok berkuasa, seperti istilah pengamat Politik Roky Gerung yang menyebut “kemaksiatan demokrasi” lahir dari kepentingan partai politik (oligarki).

Hal ini tidak terungkap secara langsung melainkan tersembunyi dari simbol-simbol politik dan demokrasi. Sulit diungkap kecuali diukur menggunakan teori semiotika, hipersemiotika, atau seni memahami dalam “Semiotika Komunikasi” yang ditulis Budi Hardiman.

Atau juga melalui pemikiran Filsuf  Pierre Bourdieu (praktek habitus) yang membeberkan sekaligus mengungkap kekuasaan simbol dan kejahatan-kejahatan lainnya yang di dipelihara, juga Jalaluddin Rakhmat, kerap disapa kang Jalal dalam bukunya “Rekaya Sosial”.

Dan atau, melalui data-data faktual dari berbagai lintas penelusuran yang sangat mungkin dan mudah untuk membatasi kemaksiatan secara struktural dijalan pemberontakan seperti revolusi yang didengungkan oleh Tan Malaka, Che Guevara, atau bisa secara spontan melalui gerakan mama-mama Halmahera.

Termarjinalisasinya Keadilan Melalui Kepentingan Politik:

Keadilan politik di era orde lama/orde baru/reformasi sejauh ini terus berkontradiksional hingga terpinggirkan dalam pergulatan sosial ditengah jalannya kebijakan pemerintah dan penegak hukum, baik keadilan ekonomi, pembangunan fisik, pendidikan, hukum/kriminal.

Semisal, mengambil studi kasus dari tragedi misterinya kematian Ibrahim Datuk Tan Malaka beserta sejumlah kawan-kawan seperjuangannya pada tahun 1949 di medan gerilya yang berakhir tanda tanya, siapa pelakunya? dan siapa aktornya?.

Hal ini mendapat jawaban. Beberapa tahun silam, sang legenda sejarawan asal Belanda Herry Poeze ini menghabiskan waktunya meneliti rekam jejak perjuangan Tan Malaka hingga di akhir nyawa revolusi.

Alhasil, dirinya berhasil menemukan latar belakang kematian Tan Malaka. bahwa secara terang-terangan ia dieksekusi mati oleh bangsanya sendiri oleh Brigade militer Indonesia atas perintah atasan. Dari kasus tersebut sengaja didiami bahkan tidak diproses secara hukum.

Melalui dokumentasi dari hasil riset, tubuh Tan Malaka menjadi tulang belulang dekat sungai, gunung Kediri, Jawa Timur. Tubuhnya hanya tersisa puing-puing yang kemudian di ambil oleh Harry untuk diuji ke laboratorium.

Selain itu, coba pelajari kembali sistem politik-ekonomi-sosial di Indonesia Timur, terpotret orang-orang Timur Leste memberontak lalu berteriak kelaparan di negeri sendiri hingga menyatakan sikap keluar dari Indonesia di masa kepemimpinan Bj. Habibie karena keadilan dalam posisi simpang siur. Ini kemaksiatan nyata yang lahir dari kepongaan pemerintah Indonesia.

Juga bangsa Wes Papua, yang sampai hari ini tak henti-hentinya bergemuruh dihadapan publik berteriak soal hak layak hidup lantaran merasa belum merdeka 100 persen (tidak ada keberpihakan keadilan kepada mereka dan berbagai petaka yang nyaris terus menimpa rakyat Papua).

Padahal, pemerintah menggelontorkan uang di angka triliunan demi pembangunan di semua sektor sosial merupakan harapan rakyat kelas bawa, pemerintah memperluas jalan investasi, dan kebijakan lainnya atas nama kesejahteraan itu semua hanya teks (simbol) yang memperkosa konteks (makna simbol).

Sangat ironi dan misterius dalam kehidupan masyarakat dari pelosok sampe ke kota-kota karena tidak ada sentuhan nyata secara kolektif sebagaimana Pancasila urutan kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Belakangan, dibalik kebijakan pemerintah muncul banyak petaka khususnya kasus pembunuhan di Halmahera Tengah yang pelakunya tidak diungkap oleh kepolisian, eksploitasi tanah masyarakat hingga memicu pencemaran darat, lautan, dan udara, sedimentasi sungai, krisis sumber air di Lelilef dan Pulau Gebe, serta beragam kasus ekologi lingkungan maupun perampasan hak dan nyawa di Maluku Utara dan Indonesia pada umumnya.

Jika mengamati situasi terkini, hanya segelintir orang mendapatkan keadilan dan kesejahteraan, diantaranya anak cucu dari kelompok berkuasa, turunan kapitalisme, dan orang-orang yang menaruh kepercayaan kepada Pemerintah, DPR, dan TNI/Polri. Lalu sadisnya Masyarakat kelas bawa hanya dijadikan sebagai instrumen politik belaka sekaligus objek eksploitasi.

 

Keadilan Untuk Siapa:

Tulisan ini diarahkan pada misterinya tragedi pembantaian tiga warga di kali Gowonle, Hutan Patani Halmahera Tengah.

Peristiwa 20 Maret 2021 mirip seperti kematian Tan Malaka dan sejumlah kawan-kawan yang pelakunya tak kunjung diproses. Mungkin saja, latar belakang tragedi Gowonle terdapat dalang dari aktor sebelum pelaku.

Bayangkan, satu Tahun lebih kinerja kepolisian diam di tempat. Respon Pemerintah dan DPRD dinilai suram.

“Katakan! Jika latar belakang tragedi Gowonle murni memiliki unsur dendam antar mayoritas masyarakat maka sangat penting pemerintah lakukan langkah strategis demi menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dan, apabila tragedi tersebut merupakan desain konflik maka adili pelaku demi keadilan dan hentikan segala bentuk investasi di Hutan Patani”. 

Melalui pemberitaan nasional yang ditayang oleh TV Indosiar di beberapa bulan lalu, dalam laporan Kapolres Halteng AKBP. Nico A Setiawan mengatakan, pelaku dari kasus pembunuhan Kali Gowonle diduga suku Togutil. Konon dugaan tersebut bersumber dari warga.

Bagi saya, pernyataan ini merupakan pemikiran kerdil yang di hasilkan dibelakang layar kinerja kepolisian sehingga melibatkan suku yang tidak bersalah.

AKBP Setiawan mesti kembali merevisi pemikirannya dengan cara membaca sejarah suku Togutil di Halmahera, karena pernyataan itu dengan sendirinya menyudutkan sebagian saudara-saudara kita di pesisir Halmahera yang berstatus Togutil.

Bahkan dipandang perlu pihak kepolisian harusnya meminta keterangan dari warga Patani, jelas menurut mereka mengisahkan kehidupan suku pedalaman mulai dari hulu ke hilir.

Dalam ceritanya, dahulunya orang-orang pesisir berkebun sampai ke belantara hutan nampak bertemu dengan suku pedalaman namun tidak ada tindakan ekstrim yang dilakukan. Mereka juga tidak menggunakan alat sajam moderen, seperti besi linggis, parang, panah wayar buatan dari besi putih lalu beracun. Apalagi saling membantai.

Selain dari itu, salah satu warga Patani Timur, Pak Ilyas dulu juga berkebun bertahun-tahun tepat di lokasi pembunuhan tiga warga (TKP). Sampai sejauh ini beliau hidup dalam keadaan sehat.

Ditambah lagi salah seorang akademisi Maluku Utara pun membuktikan melalui risetnya di hutan Halmahera, dan yang ditemukan ialah betapa bijaknya suku Togutil. Terhitung bertahun dirinya hidup bersama mereka di hutan dan kembali ke pesisir dengan selamat.

Lalu, bagaimana dengan laporan Pak Setiawan kepada reporter Indosiar yang mengatakan pelaku pembunuhan ialah suku Togutil.

Berdasarkan irasional dari pemikiran pihak kepolisian yang nyaris bertentangan ini, diduga keras merupakan langkah-langkah teknis untuk turut melegitimasi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Kemaksiatan kemanusiaan secara struktural dibalik layar akan terus berfungsi dari masa ke masa. Dan kesinambungan kejahatan ini terawat selama kepentingan oligarki dan investasi bergulir di meja linggarjati. Lalu orang-orang tidak bersalah akan menjadi alasan bahkan ulasan argumentasi untuk mencapai target.

Setelah itu, resistensi keadilan dan demokrasi yang terus dibombardir oleh kelompok oposisi pun dibungkam secara seksama”.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut lahir berdasarkan fakta empiris di Halmahera Tengah, dimana keluarga korban beserta kalangan sadar menuntut keadilan namun sebaliknya dibantai oleh pemerintah daerah, satpol PP, dan aparat kepolisian.

Ruang merebut keadilan dalam kemaksiatan ini sangat penting untuk dibenturkan dengan kekuatan mahasiswa dan masyarakat agar menyudahi kejahatan spiral yang dilakukan secara asimetris. Kalau tidak, masyarakat akan terus diperangi psikologinya hingga mempengaruhi aktifitas perkebunan dan memicu kemiskinan berkepanjangan.

Tragedi:

Histeris, duka dan air mata yang dialami masyarakat Patani Timur tertumpah ruah di jalanan setelah mendengar Alm. Hi. Masani juga korban pembantaian di belantara hutan kali gowonle.

Tubuh dari ketiga korban dimutilasi habis. Kepala mereka dipenggal putus, dibela, kaki dan tangan dicincang, dada dirobek, lalu leher ditusuk menggunakan linggis sampai keluar di tengah-tengah kedua kaki korban.

Sepaskah tragedi jelang satu bulan dan seterusnya masyarakat alami defisit ekonomi lantaran aktifitas perkebunan tidak seperti sebelumnya. Hal ini membuat warga resah dengan situasi yang ada.

Anak-anak dan keluarga korban pun yang terakumulasi dalam Fron Perjuangan Untuk Kemanusiaan (FPUK) Maluku Utara tidak berhenti mendesak pihak kepolisian tangkap dan adili pelaku sebagaimana permintaan ketentuan hukum pidana, mulai dari Polsek, Polres, bahkan Polda Malut.

Dalam desakan, juga meminta kepada Pemerintah Daerah dan DPRD lakukan pemulihan ekonomi di wilayah terdampak.

Di setiap langkah perjuangan yang berlangsung hampir satu tahun, keluarga korban dari Makean, Patani, seluruh masyarakat Patani Timur, Patani Utara, Kota Weda, Kota Ternate, memberikan bantuan berupa uang untuk logistik perjuangan.

Tapi apa yang terjadi, mereka malah diam ditempat dan mengabaikan semua tuntutan.

Parahnya seperti saya gambaran di atas, bahwa pihaknya merespon tuntutan keluarga korban dengan cara tindakan kriminal kepada massa aksi, dipukul, diteror, hingga satu massa aksi FPUK dilarikan ke RS Kota Weda Halmahera Tengah.

Ini sedikit sejarah perjuangan yang menggambarkan masyarakat Patani terus menikmati tragedi di atas tragedi.

Dan hari ini kita akan menjemput kembali salah satu pembaharuan sistem ekonomi sebagai inti dari tragedi 20 Maret 2021, yakni PT. Sinar Asih Sumber Makmur.

Kemaksiatan keadilan mulai bentraksasional muncul melalui jargon-jargon politik dan praktek demokrasi liberal ditengah meroketnya industri pertambangan.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Semakin tajam danlam mengkritiai kebijakann pemerintah, pihak kepolisian dan dprd. Semoga seceptnya dapar jawaban