LITERASI dan “ROMANTISME”

Penulis : Rama Lajahi
(Pegiat Literasi Um Fapolo Desa Masure)

Mendung menyusup, pertanda tak ada kebajikan zaman dan peradaban. Ditepi jalan desaku yang penggap diselimuti kegelapan, kumelihat sederetan remaja sedang asik berselancar di dunia maya, seolah-olah dunia itu menjadi kehidupan menarik bagi mereka.

Bacaan Lainnya

Sekaligus menjadi ajang pamer dan gengsi didalamnya. Sebuah kutipan “Kadek Yogi Ade” di Kompasiana.com, “Fenomena Pamer dan Faking Life dunia maya, begitu judulnya. Ternyata benar adanya; saat setelah aku mendekat dan mendaratkan tubuhku dibangku duduk barisan mereka; kudengar tidak ada kata lain yang punya bobotan ilmiah, selain Stalking terhadap berbagai foto di Facebook, Instagram, dan goyangan cantik perempuan didalamnya.

Handphone, bila tidak digunakan dengan bijak dan benar, maka “Disonansi Kognitif lah yang akan mengambil kendali atas diri, sikap dan perilaku kalian, kataku pada mereka, kalian tidak akan termotivasi untuk belajar dan berkembang. Apalagi aktivitas dunia mayanya seperti ini.

(Festinger 1950-an) tentang teori Disonansi Kognitif) Yang menurut “Fitra Faturachman S.Psi” salah seorang psicoterphi, phsycoeducator, dan konselor dibidang keluarga sakinah berbasis Islami, mengungkapkan, “membaca buku adalah kegiatan yang paling mudah dilakukan, namun bisa jadi hal yang tidak menyenangkan bagi orang yang tidak suka membaca. Akibat dari Disonansi Kognitif ini sehingga kecanduan terhadap sesuatu yang dapat membuat seseorang tidak termotivasi untuk berkembang

Menurut Asosiasi jasa internet Indonesia (Ajii), Facebook masih memegang kendali sebagai aplikasi ternama di Indonesia dengan jumlah 71,6 juta pengguna aktif. Belum lagi Instagram yang diobservasi oleh “Paul webster”, bahwa penggunaan aplikasi Instagram di Indonesia, adalah sebanyak 89% dari jumlah demografi-penduduk yang berusia 18-34 thn

Beberapa poin penting yang ditawarkan “Fitra Fahurachman; untuk mengembangkan kebiasaan membaca ini, antara lain;
-Perbiasakan membaca 10-30 menit setiap hari
-Non aktifitkan gadget di tangan untuk menghindari fokus pada apa yang dimaknai
-Sering-seringlah mengunjugi tempat buku, seperti rumah baca, Gramedia, atau toko buku jalanan

Sikologi Generasi

Cantik, seksi, tambah seyuman bibirnya yg menarik kan? amon!! Begitulah sapaan, sekaligus tanya yang dilayangkan padaku dari seorang remaja bernama Fadlan, Aku yang tidak munafik terhadap kejantananku sebagai laki-laki normal pun ikut melihat apa yang diperlihatkanya, “Cantik, bagus, sexi”. Tapi miris, karena dihidangkan ke mata-mata publik, adik, “tandasku sambil menulis cerita ini.

Aku yang fokus memilih, diam; dan tidak menjudge itu sebagai fenomena kebodohan peradaban modern. Sebab aplikasi Instagram Facebook juga menyuguhkan berbagai informasi dan konten edukatif yang dapat dipelajari sebagai llmu pengetahuan.

Tapi yang terjadi, perselancaran mereka itu makin berlebihan, konten-konten yang tadinya tidak transparan kini berubah menjadi transparan, apa-apa yang di-upload sebagai edukatif dan pengetahuan lainya, akan dan terus disekrol lewat beranda mereka, akibatnya mereka digandrungi bisikan iblis yang takluk pada keintiman syahwati, dengan terus mengagumi paras cantik dan perilaku-perilaku seronok perempuan selebgram itu

Padahal! Negara begitu giatnya mengusahakan rejuvenasi, tumbuh kembang Literasi dari desa ke kota, seperti Perpustakaan nasional (Pusnas), perpustakaan DKI Jakarta dll. Yang sangat mudah diakses di laman play store, lewat sebuah Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang apabila sewaktu-waktu diperlukan untuk meminjam, pastilah dipinjamkan.

Apalagi pada setiap generasi, yang masih sangat haus pada jejak petualangan intelektual dunia, duduk damai bersama pikiran mereka, diskusikan, kopikan, sampaikan, tunjukkan pada dunia bahwa bonus demografi menuju Indonesia emas dapat terwujud, dari sebuah negara dunia ketiga, terbang lepas landas menuju negara dunia ke dua, “Walt Whitman Rostow.

Baca juga ( Arif Budiman, Teori pembangunan dunia ke tiga, sungguh Literasi itu makanan bagi jiwa untuk memperhalus perasaan manusia, kata Tan Malaka, sekaligus sangat kejam bak sniper pembunuh yang membayang-bayangi singgasana pemerintahan.

Pikiran, buku, kopi dan diskusi, itu dapat mewujudkan tatanan pemimpin yang ideal.
Pembangunan manusia bermoral serta kreativitas berlanjut, hingga contoh-contoh dari kemajuan setiap negara, desa, kota lainya dapat di-iplementasikan ke desa.

Pemerintahan yang pincang dan demokrasi yang bobrok bisa kepal Unjung tanduknya.
Mari ingat sejarah. Di Prancis pada 1970-an,
Tokoh penting seperti Jean Paul Sartre” melalui teori eksistensialisme dan drama no-exit, yang telah banyak berkontribusi pada pikiran perempuan untuk membebaskan dirinya dari belenggu patriarkis

Selain itu, seperti ungkapan Eric from dan Freud tentang perempuan Eropa yang belum sepenuhnya merdeka, yang kemudian di ulangi oleh Wallby; bahwa perempuan itu ibarat keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. (Kutipan Naomi Wolf) dalam “Mitos Kecantikanya” ; begitulah candu literasi ketika mengeluarkan Amarah.

Sebab dengan Literasi ada keadaban disana yang sedikit demi sedikit dapat digerus, dari manusia yang tadinya entah berantah, menjadi bermoral seperti dewa.

Bicara Literasi; tidak sekedar bicara perlawanan, revolusi, Kopi, buku dan dialektika. Literasi itu penyucian diri, letaknya pada moncong piramid, yaitu; akisidental, memahami kebijaksanaan sebagai warga semesta dan perwujudan tuhan dalam diri setiap manusia, karena kelak semau waktu; kita Akan kembali padanya.

Untuk itu, mari belajar dari kehidupan, membaca dari buku, diskusi dari teman dan alam, lepaskan dulu jeratan, sebab-sebab yang dapat menganggu konsentrasi belajar, sebab kemewahan terakhir manusia ada pada akalnya, (Soe Hok Gie). Diusia dini kita belum terlambat jauh, menyelami lautan ilmu, kita jangan tenggelam menyesali waktu yang sudah berlalu, karena itu akan membuat kita menyia-nyiakan semua waktu yang sedang berjalan (Ibnu Qayyim).

Maka lihatlah ibu, meski rentan tua, dia tetap menyediakan perpustakaan dunianya untuk kita, Melalui nasehat-nasehat yang diberikannya. Untuk itu belajar, jangan lihat kemewahan setiap perempuan pada aspek romantisnya, jangan pula pada dasar parasnya yang menyita perhatian.

Bukan itu; Tapi aspek keibuannya, kebijaksanaannya, sebagai perpustakaan dunia, terbukti, kita semua dilahirkan, mengetahui dan melihat dunia bersama isinya dari belaian jari jemari ibu serta cinta kasih tulus yang tiada taranya.

Shinta Laksmi “dalam metanarasi” peran perempuan dalam mengatasi dambak mobile internet pada anak-anak, mengungkapkan dampak negatif pada anak remaja yang menggunakan mobile internet sangat beresiko terhadap perkenalan orang asing.

Dan tentu hemat saya, sudah tentu fenomena ini dapat mengabaikan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh. Jadi ingat apa yang ditafsirkan ” Mr. Fahmi Hi Manaf tentang yang jauh tapi tak berjarak, yang dekat tapi tidak bersentuhan. Pilih mana? Realitas? Dunia Maya? Teman bicara, diskusi atau buku?

Kehidupan manusia memang tidak akan bisa terlepas dari hubungan seseorang dengan orang lain. Namun bila dalam diri yang dibesarkan adalah syahwati, maka bersiaplah untuk membunuh nalar kritis, “Cak Nur. Selain itu, Rumi berpesan, jika cinta belum diterima, lanjutkan. ketika cinta tidak dihargai, menjaulah. Sebab segala bentuk ketergantungan itu adalah bentuk penjajahan. Ingatlah apa yang digambarkan Ali Bin Abi Thalib, bahwa ketika sesuatu itu sudah ditakdirkan untuk menjadi milikmu, maka ia akan mencari jalannya sendiri untuk menemukanmu. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *