Oleh: Darmawan
Pengurus Literasi Kaum Muda
(LKM) Desa Sakam, Halteng
LITERASI- Anak akan bertumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Anak muda juga yang akan meneruskan estafet perjuangan untuk memajukan Indonesia. Satu pemuda saja dapat memberikan perubahan, apalagi dengan sepuluh pemuda?.
Kami anak desa yang tumbuh besar di Desa Sakam, ujung timur Halmahera Tengah, Maluku Utara, disana, kami memulai sebuah literasi kecil karena kami sadar telah tertinggal dari jangkauan dunia komunikasi dan informasi dunia. “Dari buku kita mengenal dunia”. Akses pelayanan pendidikan yang tidak memadai di desa ini menjadi energi dasar bagi kami untuk membentuk satu forum literasi kecil namanya (Literasi Kaum Muda Desa Sakam).
Disana kegelapan sering terlihat menyelimuti wajah desa kami yang masih tergolong miskin akses pelayanan publik, seperti jaringan Telekomukasi, akses jalan, pendidkan dan kesehatan. Ah sudah lah, pembangunan hanya janji busuk politisi dalam merebut tahta. Kita lupakan saja, penulis tidak ingin membahas itu, karena janji politisi sudah biasa dan anak desa juga sudah muak.
Literasi Kaum Muda (LKM) Desa Sakam, Halteng.
Disana di kampung perbatasan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng) dan Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), anak-anak desa ini banyak terlihat berlalulang tanpa arah yang pasti. Lagi-lagi pelayanan pendidikan dan faktor keterbatasan ekonomi masyarakat, menjadi alasan banyak siswa putus sekolah.
Apa yang terjadi. Yang terjadi adalah setiap tepian lorong-lorong yang gelap dan senyap, para anak muda ini setiap saat menyuguhkan ramuan miras yang memabukkan pada setiap waktu mereka bergadang. Perilaku anak muda ini menghancurleburkan nilai dan estetika sosial desa maupun diri sendiri dan kelompok pergaulan. Teriakan tak bermakna di malam yang sepih selalu terdengar akibat ulah anak muda yang sudah merenggut ramuan miras ini. Mereka tidak memikirkan lingkungan sekitar/ masyarakat yang sedang beristirahat di waktu siang maupun malam. bahkan yang paling brutal di tengah kegaduhan ini adalah perkelahian antar sesama anak muda dan masyarakat setempat, hal ini tak dapat di pungkiri sebab bagi mereka adalah anak muda mesti hidup bersama dan melakukan hal-hal ekstrim dalam kepemudaan, bahwa sebelum melalui kebaikan pastikan kita menjadi anak muda yang nakal, sebab bagi mereka tahapan itu hal yang wajar-wajar saja dan seharusnya kita lalui agar itu menjadi catatan evaluasi sejarah dan introspeksi ketika usia tua mendatang.
Dari sini Literasi Kaum Muda Desa Sakam hadir sebagai awal proses pembentukan kesadaran kritis menuju manusia paripurna, dan menuju sejatinya sebagai anak muda dalam menjalankan eksistensi sosialnya dan bermanfaat di sepanjang sejarah untuk ummat dan bangsa ini.
Banyak perihal kekurangan, kesiapan ilmu pengetahuan yang itu menjadi problem di kalangan kelompok anak muda di desa. Etika dan moral, budi pekerti, atau kecerdasan intelektualitas, emosional, Spiritualitas. Minimnya edukasi sosial sebagai Dhe spirit Of Power pendidikan kritis, atau sebut saja anak-anak muda di desa tidak terbentur dalam ruang dialektis dan tidak eksis dalam zona eksplor literasi yang itu menjamin muatan pengetahuan, sehingga mengakibatkan proses kelambatan nalar kritis dan terperangkap dalam gelapnya degradasi berpikir.
Dari semua tindakan anak muda di desa yang terakumulasi di mata masyarakat memiliki power value negatif daripada positif, namun bagi mereka adalah hal yang wajar-wajar saja atau dengan istilah mereka “Kenakalan Remaja”, ini bukan hanya saja berlaku di kalangan anak muda di pelosok desa tapi laku juga di tiap kota-kota.
Hal ini tidak menjadi masalah bagi mereka, tapi untuk menginterpretasikan dalam diskursus pendidikan adalah satu kelemahan berpikir, atau dalam istilah filsafat adalah kelemahan empistem yang faktornya adalah pendidikan itu sendiri. Tapi pembacaan cermat dan lihai terhadap reposisi perkembangan mereka, mesti ada akselerasi perubahan sikap solidaritas dan kita pada posisi Tenga berikan stimulus dialektis yang berbobot tentang pendidikan semacam asupan rangsangan epistemologi aktif dalam merubah karakter.
Tidak cukup pembentukan karakter lewat pendidikan formal yang dinamikanya guru hanya memberikan materi, tugas sekolahan, pada akhirnya siswa dengan instan terkoptasi dengan lingkungan bebas yang notabenenya adalah anak muda jantang dan liyar berkeliaran di malam-malam panjang lalu nongkrong tak berarti buat apa-apa untuk pembentukan karakter, sebagaimana pesan dan harapan oleh tokoh pendidikan Indonesia ”Kh. Dewantara, bersama kawanan anak muda seperjuanganya”.
Dalam literatur sejarah perjuangan menuju kemerdekaan bangsa khususnya indoneisa, usai terbukti bahwa anak-anak muda adalah pelopor kemerdekaan, anak muda adalah agen of cheng, agen of control dan agen of perubahan, bahkan menjadi katalisator yang terorganisir sebagai dhe spirit of power perubahan/instrumen pendidikan
Maka berangkat dari cikal bakal anak muda di desa, yang ironisnya juga terbuai instan dengan era moderen dan menserimoni teknologi informasi lalu seirama dengan transformasi perubahan zaman bersifat hedonis, pragmatis dan juga liberalis. penting kiranya kita butuh metodologi pendidikan agar dapat menjembatani pendidikan formal sebagai sistem pembaharuan paradigma kritis anak muda dalam sektor pendidikan.
metodologi pendidikanya tidak asing dan tak lain adalah “Literasi Kelas Desa”.
dalam proses penataan pembangunan desa, anak muda memiliki peran penting sebagai indikasi kemajuan di segala sektor yang ada, khususnya anak muda membentuk anak-anak sejati berpikir kritis (komposisi Generasi Lanjutan), sejatinya merekalah sebagai basis Intelektual muda yang tak di ragukan lagi dalam mendulang sejuta solusi atas pembangunan manusia maupun perubahan sosial (desa).
Dinamika literasi adalah instrumen ilmiah sebagai eksplor baca buku, lalu meresap dan merespon kecepatan olah pikir di tengah proses dialektis yang menjamin keaktifan epistemologi manusia di alam raya khususnya anak muda di desa
Pentingnya membangun literasi di tingkat desa, tujuan dasarnya untuk menentukan nasib anak muda yang terbentur pada lingkungan sosial penuh gejolak perdaban yang tidak menjamin muatan ilmu pengetahuan dalam pembentukan karakter humanisme yang santun dan berbudi kritis, sembari yang mencuat adalah kehancuran diri lalu berpotensi mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat.
Pengurus Literasi Kaum Muda (LKM) Desa Sakam, Halteng
Siapakah anak-anak yang kurang beruntung di Indonesia? Apakah mereka yang berasal dari keluarga miskin dan sederhana? Apakah mereka yang tidak mendapatkan akses Pendidikan yang layak? Apakah mereka yang tinggal di Desa? Atau mereka yang berkebutuhan kusus?
Menurut CBS Household Labour Survey, daerah tertinggal merupakan daerah yang memiliki angka signifikan dalam jumlah anak yang tidak menempuh jenjang Pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Di daerah tertinggal terdapat banyak anak-anak yang bekerja setelah lulus dari sekolah dasar. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi ini adalah kemiskinan, kurangnya pengaruh orang tua dalam memotivasi anak, dan sulitnya akses Pendidikan, serta minimnya perhatian pemerintah setempat dalam memperhatikan anak-anak yang ada di Desa.
Nelson Mandela pernah mengatakan “pendidikan adalah senjata ampuh yang dapat mengubah dunia”. Bila anak-anak Indonesia yang hidup di daerah tertinggal memiliki semangat dan akses yang tinggi untuk menempuh jenjang pendidikan dari yang terendah hingga tertinggi, mereka akan menjadi generasi emas Indonesia yang dapat membangun Indonesi dari pinggiran atau dari Desa.
Kata “Ali syariati” bahwa perbanyak literasi, agar kita tidak muda terjebak dengan transformasi perdaban barat.
“Paulo Fereire”, untuk merubah kesadaran anak-anak di bawa standar kenaifan agar menjadi manusia kritis, maka organizir mereka dan giring mereka ke wilayah literasi.
Bagaimana untuk merealisasikan harapan ini? Tentunya dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu desa.(*).