Jangan Bunuh Petani

      Penulis : Awan Malaka
(Camerad Samurai Maluku Utara)

Jauh sebelum dipilih, getaran suara perubahan dibunyikan diatas panggung bagai trompet sangkakala pecah dibelahan alam semesta. Jangan jumawa/merasa besar tuan, karena semakin merasa kepala besar, maka anda akan jauh dan tidak akan dicintai publik/rakyatmu. Ambisi untuk kuasa sudah anda raih, jaga amanah yang engkau janjikan dihadapan rakyatmu. Ingat tuan, yang mencintaimu hari ini hanya kelompok pengikut yang anda sokong mereka dengan proyek, jabatan dan lainya. Diluar itu belum tentu sesuai penilaian atas kepemimpinan mu.

Dimana suara trompet perubahan itu Tuan. Disana petanimu meminta keberpihakanmu atas ancaman ruang dan mata pencaharian hidup mereka sebagai petani desa. RDTR kebijakan mu atau bukan, jika kebijakan mu, sebaiknya dicabut agar kedepan tidak menyingkirkan ruang hidup warga desa disana (Sagea-Kiya) dan lainya di wilayah lingkar tambang.

Tuan, kebijakan ekonomi pembangunan dan kesejahteraan wargamu tidak selamanya harus ditempuh melalui jalur investasi asing (investor), masyarakat halmahera sejak dulu sampai sekarang tetap hidup tanpa kehadiran Investor.

Bacaan Lainnya

Coba Kita lihat kembali histori masyarakat Halmahera dan sekitarnya. Di Halteng masyarakat mengandalkan pala, cengkih, kelapa/kopra. Halbar, Halsel, Halut, dan beberapa daerah lainya juga demikian masif menomor satukan komuditi lokal sebagai produk alami yang menunjang kehidupan, serta di akui oleh dunia soal kualitas komoditi halmahera di Banding produk kapitalisme industri.

Pembagian fungsi Pemerintah secara administrasi dalam struktur negara, tentu mereka dengan dalil demokrasi untuk mengutamakan kepentingan masyarakat, sebab kedaulatan ada di tangan masyarakat/rakyat.

Dewasa ini, kita semua saksikan pola konsumsi dan cara hidup masyarakat halmahera itu semakin drastis beruba.
Pokoknya adalah hasrat masyarakat halmahera sebagian besar menginginkan produk-produk kapital sebagai batu loncatan untuk menata kehidupan yang mewa, khias, serta hal-hal yang berdimensi industri.

Dari transisi masyarakat halmahera seperti yang di gambarkan di atas, mesti kita harus radikal bahwa pelaku-pelaku yang mentransformasikan cara hidup masyarakat halmahera seperti itu adalah pemerintah yang memegang kendali kekuasaan dengan metode politik rantang.

Kebijakan pemerintah yang di utamakan dewasa ini adalah investasi asing/ pertambangan, dan ini adalah bentuk transformasi ekonomi moderen yang berskala kapitalisme industri untuk menggantikan pola hidup masyarakat yang berbudi daya komuditi, adat, serta tradisi gotong royong.

Dengan begitu pemerintah mempermasif perusahan asing, hal yang paling di perhatikan ketika dalam pembagian akumulasi kuantitas uang, itu untuk di peruntukan kesejahteraan/kemakmuran masyarakat setempat dalam suatu negara.
Namun ironisnya, pemerintah malah utilitarianisme materialistik gunakan kapasitas negara serta kemampuan untuk menumpukkan uang sebebas-bebasnya sebagai modal milik pemerintah yang berujung politis. Bahasa sakirinya “Mereka menanam bebas dan panen sendiri, sementara tanah milik masyarakat yang mesti di kembalikan”.

Skandal penguasa (pemerintah) dalam mazhab utilitarianisme, dalam bacaan saya, tentu mereka terjebak dengan tokoh utilitarianisme “Jeremy Bentham”. bagi Jeremy, pemerintah yang mengendalikan negara seharusnya bebas bersaing untuk kemakmuran.

Sementara konsep utilitarianisme yang di kembangkan oleh “John Stuart Mill”, baginya, seseorang atau negara yang memiliki kemampuan memproduksi, mengumpulkan materi, dan memperoleh kemakmuran, hendak harus memiliki pola keinginan untuk berikan kepada masyarakat dalam rangka kemamuran bersama.

Halmahera kita adalah daerah yang menyimpan sejuta potensi alam baik di daratan maupun di laut. Akhir-akhir ini pemerintah semakin membeberkan sampai menjengkelkan, terasa menekan hak-hak tanah milik masyarakat hanya untuk menggadaikan hutan dan lautan kepada investasi asing sebebas-bebasnya.

Dengan begitu pemerintah bebas tanpa pertimbangan kritis meloloskan pertambangan di setiap daerah halmahera dan sekitarnya, maka saat itu pulah penumpukkan kekayaan pemerintah semakin meroket, lalu masyarakat hanya menikmati penindasan, penggarapan tanah atas ekspansi perusahaan, eksploitasi kerusakan ekologi yang merajalela. Akhirnya, halmahera kita kehilangan peradaban yang sudah di wariskan oleh leluhur serta pejuang-pejuang sejati terdahulu.

Tidak mengapa bagi pemerintah, hal demikian mereka anggap biasa saja. Sebab, lihainya pemerintah selalu saja berikan interpretasi politik berasaskan keadilan, serta kesejahteraan masyarakat melalu perkakas demokrasi, agamais, nasionalis, dll. Intelektual pemerintah ini di benarkan secara logika, namun gagal secara moral.

Pemerintah yang sangat utilitarianistik, adalah mereka yang menyerupai juba kapitalis, tak lari jauh dari jas hedonisme yang suka mengandalkan bahwa yang kecil tetap di bawa ketiak yang besar. Maksdunya, dalam proses pengimporan kekayaan alam di luar negeri lebih masif sistematis tanpa melihat keluhan masyarakat kelas bawa dalam pusaran ekonomi pasar halmahera.

Ciri-ciri pemerintah yang paling kental menganut tipe utilitarianistik salah satunya Pemerintah Halmahera Tengah.
Dalam analisa yang di bangun melalui diskursus ilmiah, dapat menimbulkan understanding bahwa ternyata logika kebijakan yang di prioritaskan untuk kemajuan masyarakat dan wilayah adalah investasi pertambangan. Akhirnya dampak-dampak negatif seperti kerusakan ekologi lingkungan, hutan, laut, ekologi sosial, sebut salah satunya ketika musim hujan tentu menimbulkan banjir yang tak wajar. Tandanya semakin hari makin menakutkan bagi masyarakat lingkar tambang dan sekitarnya.

Tuan Boss, Dokumen presentasi Kementrian ATR/BPN tentang RDTR di Kawasan Industri (KI) Teluk Weda, menjadikan Desa Sagea, Desa Kiya, Desa Fritu, dan Desa Waleh, sebagai wilayah penunjang Kawasan Industri seluas 3.826,82 Hektar akan dijadikan wilayah pengembangan pemukiman dan pertanian. Benarkah itu satu langkah perubahan yang sering engkau tiupkan lewat trompet kampanyemu saat itu.

Warga menolak karena dianggap merugikan, lahan seluas 647,38 hektar yang direncanakan untuk pengembangan pemukiman di Desa Sagea dan Kiya, sebagaimana dalam peta lampiran pengembangan pemukiman ini akan dibangun rumah susun untuk tempat tinggal para pekerja industri (IWIP).

Tuan, ada apa, hingga pembahasan dan konsultasi publik RDTR hanya melibatkan Pemda, kepala desa, camat dan ormas. Sementara masyarakat tidak dilibatkan sama sekali. Bahkan tuan bersama bawahan di jajaran pemerintah daerah setempat juga dikabarkan tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Ingat tuan boss, masyarakat melakukan penolakan atas rencana ini, karena kawasan perluasan pemukiman itu masuk dalam areal perkebunan pala masyarakat yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat dan juga kawasan mangrove. Lokasi tersebut juga berada di antara kawasan Gua Bokimoruru dan Danau Legaelol, dua spot geowisata andalan.

Selain akan menghancurkan sumber penghidupan masyarakat, RDTR juga akan mengubah kehidupan kultural masyarakat di kawasan setempat. Ancaman lainya, RDTR akan merusak ekosistem penyangga geowisata Gua Bokimoruru dan Danau Legaelol yang dimana saat ini menjadi wisata kebanggaan Halmahera Tengah.

Tugas tuas boss harus menjaga eksositem aliran sungai, hutan dan karst di wilayah Weda Utara. Tuan boss harus dilindungi serta dibebaskan dari berbagai konsesi Ijin Pertambangan (IUP) yang berada di hulu sungai Sagea

Secara strategis, kita berikan satu poin analisa politiknya, bahwa pemerintah mengalami kelemahan dalam menghadapi kebijakan nasional, sehingga mereka hanya ikuti reaksi pemerintah pusat sebagai psikomotorik dalam kebijakan tersebut.

Tak dapat di pungkiri, aksi liberalisasi pemerintah yang merespon investasi asing adalah bentuk kepentingan untuk proses akumulasi modal politik jangka panjang.

Mestinya, pemerintah merawat masyarakat dan bumi halmahera kita itu dengan potensi alam baik di darat maupun laut secara mandiri tanpa intervensi investasi pertambangan asing.

Olehnya itu, pemerintah yang di percayakan oleh masyarakat demi merawat halmahera kita, harus kembali pada sejarah majunya peradaban di halmahera. Baik dari aspek kebudayaan, ekonomi, kemanusiaan, agamais, dll.

Untuk kembali buat pembaharuan, pembersihan (clean goverment), serta membentuk pemerintah yang baik (good goverment), maka pemerintah dalam kebijakan demi kemakmuran bersama tanpa intervensi investasi asing dasarnya adalah “Amar Makruf Nahi Mungkar” untuk mengembalikan arwah halmahera kita yang sesungguhnya.(*).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *