Dari Dialog Budaya Oleh HPMPD Malut, Mengurai Ancaman Budaya Lokal Hingga Tergerusnya Nilai Falsafah Fagogoru

Pengurus AMPD Patani Timur, Maluku Utara, berpose bersama para Pembicara dalam dialog budaya, Minggu (20/6/2021).

Tergerusnya nilai-nilai filosofis Fagogoru yang menjadi pesan para leluhur, hingga berdampak pada budaya lokal di tingkat desa di Halmahera Tengah, Maluku Utara, rupanya menaruh perhatian serius dari Himpunan Pelajar Mahasiswa Peniti Damuli (HPMPD) Maluku Utara lewat Dialog Budaya, Minggu (20/6/2021). Seperti apa dialog tersebut, berikut laporannya.

DIALOG dengan tema “Inovasi Desa Untuk Kebudayaan” bertempat di kafe NBCL, Kawasan Kampus B Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate, AMPD Maluku Utara ikut menghadirkan sejumlah narasumber dari kalangan akademisi, yakni Wawan Ilyas Dosen UMMU Ternate,  Abdullah Totona Aktivis Samurai Maluku Utara, serta Naimuddin Nuh, Pegiat Literasi Halmahera Tengah (Halteng) Malut.

Wawan Ilyas dalam pemaparan materinya pada dialog itu menyampaikan, dalam hal menjaga atau merawat budaya lokal di era moderenisasi dewasa ini, sangat diperlukan diskursus ilmiah untuk membangun iklim inovasi desa dalam rangka mempertahankan kebudayaan lokal di tengah transformasi teknologi yang merubah wajah dunia hari ini.

Bacaan Lainnya

“Perubahan sosial masyarakat dewasa ini berjalan begitu cepat bagaikan petir menyambar pohon. Untuk itu dalam rangka mengimbangi hal itu, sangat diperlukan untuk membangun inovasi desa yang berpijak pada hal-hal yang paling fundamental, yakni berangkat dari dasar kearifan lokal sebagai lokus untuk pengembangan nilai-nilai kearifan lokal itu sendiri,”ungkap Wawan.

Selain Wawan Ilyas, Abdulla Totona perwakilan Dewan Syuro Samurai Maluku Utara menerangkan, dunia inovasi di lintas pedesaan itu dilihat pada tiga aspek, terutama adalah Teknologi, Pendidikan dan Informasi.

“Tiga aspek itu sebagai perekat sekaligus menjadi fondasi dasar untuk di tranvormasikan pada setiap kearifan budaya lokal yang ada di desa,”pinta Abdullah.

Dia menjelaskan, kebudayaan merupakan dasar sekaligus ikatan diantara warga. Dari aspek ini, orang akan mengenal diri; dari mana asal kita, dan mau jadi apa kita kedepan. Hal ini yang kerap abai dalam kehidupan sosial masyarakat hari ini.

Di sisi lain, gempuran moderenisasi di tengah kebudayaan masyarakat juga dapat memberi dua energi, yakni energi positif dan negatif. Positif di mana bila perkembangan desa dieksplor melalui pemanfaatan teknologi dan semangat nilai-nilai kebudayaan masyarakat.

“Pintu masuknya untuk menjawab benturan serta tergerusnya perilaku sosial masyarakat ini terletak pada Inovasi desa. Jalan Inovasi desa diyakni dapat membantu kemajuan desa. Sementara energi negatif jika perkembangan atau inovasi desa hanya diletakan pada semangat teknologi informasi maka yang diraih hanya kepentingan ekonomis namun menghambat solidaritas warga berdasrkan semangat nilai-nilai historis dan budaya itu sendiri,”sambung Aloed.

Naimuddin Nuh, selaku penggiat Literasi dan juga Sepupu dari Mahasiswa HPMPD Malut dalam materinya menyampaikan, problem kebudayaan lokal khusunya di Halmahera Tengah lebih dipengaruhi faktor tekanan sosio-politik yang bersumber dari kebijakan pemerintah daerah.

“Pemda harusnya tanggap untuk membuat terobosan dalam hal menjaga atau merawat kearifan lokal yang dewasa ini semakin mengalami pergeseran,”ujar Naimuddin.

Dikatakan, tantangan budaya lokal yang setiap waktu bergeser jauh dari perilaku sosial masyarakat, Pemda diperlukan aktif mengambil peran agar warga di setiap desa dapat menjiwai nilai-nilai yang termaktub dalam Falsafah orang Fagogoru.

“Nilai tersebut adalah Ngaku Re Rasai (satu rasa semua rasa), Budi Re Bahasa (adanya budi dan laku tutur bahasa yang baik ), Sopan re Hormat (sikap dan perilaku menghormati antar sesama), Mtat Re Mimly (malu dan takut melakukan kesalahan ), Akal Re Wlow (Memiliki akal dan hati),”ucap Naimuddin.

Pada akhir materinya, Naimudin meminta Pemda Halmahera Tengah untuk segera mungkin membuat satu regulasi agar budaya lokal masuk dalam kurikulum pendidikan lokal secara formal. Ini penting kata dia, agar nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Fagogoru itu sendiri dapat terimplementasikan secara terukur dan tepat sasaran,”tutup Naimudin.(*).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *