Beritadetik.id – Indonesia Anti-Corruption Network (IACN) menyoroti kinerja Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Sorotan penanganan kasus dugaan korupsi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) yang merugikan keuangan negara senilai Rp 15 Miliar ini dilayangkan Igrissa Majid, Direktur Indonesia Anti-Corruption Network.
“Skandal ini sudah masuk tahap penyidikan. Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dan kapan pihak Kejaksaan Negeri Halsel dapat menetapkan status sebagai Tersangka kepada para pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi?,”ungkap Igrissa Majid, Direktur Indonesia Anti-Corruption Network, lewat keterangan tertulisnya yang diterima beritadetik.id, Rabu (29/1/2025).
Terkait alasan penyidik bahwa pihak manajemen BPRS sudah mengembalikan nilai kerugian miliaran rupiah. Justru, kata Ingrid bahwa atas perbuatan pelaku yang menimbulkan kerugian harus ditelusuri dari mana sumber keuangan pengembalian berasal, dan bagaimana pola atau manajemen pengelolaan keuangan sehingga dapat menimbulkan kerugian?
“Inilah pertanyaan dasar sehingga dalam kebutuhan penyidikan penyidik dapat mengungkapkan seterang-terangnya. Hanya saja, lagi-lagi pada kenyataannya Kejaksaan Negeri Halsel sejauh ini tidak menetapkan Tersangka,”tegasnya.
Dikatakan dalam konteks mekanisme penetapan Tersangka terhadap pelaku suatu tindak pidana acuannya sudah jelas sebagaimana dalam KUHAP, baik keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan keterangan Terdakwa.
Di sisi lain, alasan Kejaksaan Negeri Halsel bahwa menunggu Keterangan Ahli dapat diduga hanyalah akal-akalan, bagaimana mungkin skandal korupsi miliaran rupiah yang sudah ada hasil auditnya, dan para saksi sudah diperiksa lantas tidak kunjung menetapkan Tersangka.
Secara hukum, pengetahuan mengenai standar penetapan tersangka sudah sangat umum, Kejaksaan Negeri Halsel tidak boleh mengelak dengan cara-cara yang tidak wajar. Kalau alasan menunggu keterangan ahli justru terkesan sekadar mempermainkan hukum.
Kedua: Dalam keterangan penyidik, bahwa kasus BPRS bukanlah tindak pidana perbankan, melainkan murni tindak pidana korupsi sebagaimana disampaikan oleh Kasi Tindak Pidana Khusus Kejari Halsel Ardhan R. Prawira, pada Oktober 2024 lalu.
Menanggapi ini, IACN menyampaikan bahwa fakta atas kerugian ini harus dilihat dalam dua perspektif sekaligus, yakni tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan, di mana tindak pidana korupsi karena ada kerugian negara dan tindak pidana perbankan karena ada tindakan kriminal yang memenuhi unsur-unsur dalam Undang-Undang Perbankan.
“Kami berpendapat bahwa jika hanya pasal berkaitan tindak pidana korupsi, maka dapat diduga kuat bagaimana akhir dari skandal ini. Dugaan ini selaras dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi,”jelasnya.
Meski pasal tersebut menegaskan tidak dapat menghapus pertanggung jawaban pidana, tetapi dalam penjelasannya menyatakan pengembalian kerugian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
Dia menambahkan dalam perkara ini jika pasal pidana perbankan juga turut disertakan atau digunakan oleh kejaksaan, maka sebaliknya akan memberatkan kepada pelaku, baik pemegang saham maupun pihak-pihak internal BPRS yang diduga terlibat.
Sebagai penegak hukum, Kejaksaan Negeri Halsel harus melihat bahwa temuan dalam hasil audit itu berkaitan dengan tindak pidana perbankan yang berkaitan kegiatan usaha, tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi, dan tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pemegang saham.
Kejaksaan tidak hanya dapat melihat satu fakta saja, bahwa perbuatan yang menimbulkan kerugian itu lantaran ada keterlibatan pemerintah daerah, lantas tergolong tindak pidana korupsi semata.
“Dalam posisi kasus ini, kami mencurigai ada dugaan kejahatan lain di balik aktivitas perbankan yang dapat dilakukan pihak-pihak di dalamnya, sehingga dalam penentuan norma, unsur-unsur dalam tindak pidana perbankan juga dimasukkan,”tegasnya.
Terkait itu, dia meminta Kejaksaan Negeri Halsel harus mencermati dengan detail bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana perbankan yang mencakup crimes for banking, criminal banking, atau crimes against banking, sehingga bukan hanya satu jenis undang-undang saja.
“Terkatung-katungnya penanganan perkara ini, telah menimbulkan banyak tanya dari publik, bahwa ada langkah yang sengaja di-design untuk menutupi kejahatan. Kasus ini harus dilihat dengan kacamata yang lebih kritis, bahwa Kejaksaan Negeri Halmahera Selatan semacam mengurungkan niat untuk menjerat para pelaku,”tandasnya.(rls/red).